Hari Minggu itu telah terjadi kesibukan meski hari masih gelap. Sosok itu yang memang tidak tidur semalaman karena asyik menulis dengan laptop pinjaman seorang kawan, selepas shalat Subuh langsung membangunkan sang belahan jiwa. Setelah yakin yang dibangunkan itu melek dan bangkit dari tempat tidurnya, dia pun leha-leha tiduran untuk menghilangkan lelah karena begadang.Â
Oya, dia juga harus membangunkan Adik Anin yang terbilang susah bangun pagi. Perjuangan yang tiada henti-hentinya, hingga akhirnya dia dan sang belahan jiwa telah siap di atas motor pada pukul 05:30. "Semoga tidak terlambat. Bismillah," bisiknya memulai perjalanan. Maklum, tempat tujuan lumayan jauh, di CFD Dago.
Si Hitam Fit-S melaju dengan kecepatan maksimal yang cuma 100 cc. Sebenarnya sedih melihat kondisi fisiknya yang banyak tempelan lakban karena kulitnya taklagi mulus. Lampu depan yang tidak menerangi apa-apa (termasuk kalau malam) kecuali sebagai pertanda itu motor ada lampunya, dan dengan suara mesin yang seolah protes ingin istirahat.Â
"Lem biru sajalah!" teriak hatinya menggerutu. Meski begitu, keberadaannya sangat bermanfaat untuk mobilitas sosok itu dan keluarganya. Termasuk pada pagi itu (19/11/2017) dari GBA Barat menuju ke Gedung Eduplex Dago. Ada ilmu yang ingin diserap oleh keduanya yang bakal disampaikan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Balitbang PUPR) di sana. Inovasi mereka yang seolah takpernah berhenti.
Pukul enam lewat sedikit, mereka berdua berhasil memarkirkan kendaraan roda duanya di bawah jembatan Pasupati. Berjalan beriringan di pedestrian Dago yang semakin cantik dan rapi, mengikuti jejak Mas Ali dan Teh Tian bersama anak-anaknya. Sampai di Gedung Eduplex Dago ternyata sudah banyak para Kompasianer Bandung yang otomatis adalah anggota Blogger Bandung.Â
Silaturahmi singkat bermakna banyak, meski sambil ngobrol di depan toilet guna salin pakaian berwarna kuning. MC acara sudah berkoar-koar di depan panggung memanggil orang-orang yang lewat agar mau bergabung. Dengan tema "Ciptakan Lingkungan Sehat dengan Inovasi BALITBANG" acara ngobrol santai seputar banjir, sampah, dan limbah plastik siap digelar dalam rangka memperingati Hari Bakti PU ke-72.
Suasana di jalan depan Eduplex telah ada beberapa papan informasi tentang inovasi yang telah dilakukan BalitbangPUPR yang sengaja diletakkan strategis. Diantaranya adalah tentang ABDULAH, yaitu Akuifer Buatan Daur Ulang Air Hujan. Konsepnya sendiri adalah wadah untuk menampung air hujan yang kemudian setelah difilter bisa digunakan untuk air wudhu. Hasil buangannya bisa diolah lagi sehingga air tidak terbuang percuma. Keren.
Lalu ada Ecotech Garden, yaitu memanfaatkan tanaman air untuk menyerap limbah rumah tangga. Jadi limbah dari air selokan (grey water) dan effluent tangki septik bisa dibersihkan dengan menempatkan tanaman air semacam Cyperus papyrus, Cana Air, atau Melati Air. Superb. Tidak kalah menarik adalah teknologi Aspal Plastik. Inilah penemuan terbaru dari Balitbang PUPR dengan memanfaatkan limbah plastik (kresek) tipe LDPE menjadi bahan pembuatan aspal. Polimer plastik ternyata mampu memperkuat aspal jalan jauh lebih lama dari metode biasa. Wow!
Dari sana kemudian acara bergulir dengan diskusi-diskusi ringan tentang inovasi yang sudah dijelaskan di atas, langsung oleh pakar-pakarnya. Sementara itu para Kompasianer Bandung dan Blogger Bandung berkumpul menjadi empat kelompok untuk berdiskusi intens dengan tema berbeda. Sosok itu sendiri bersama sang belahan jiwa berada di kelompok empat untuk berdiskusi dengan Ir. Lya Meilany Setyawaty, MT., Kabid Standarisasi dan Diseminasi Balitbang PUPR. Ibu yang bekerja sehari-hari sebagai peneliti ini akan fokus membahas sampah rumah tangga.
Bagaimanapun sampah domestik itu adalah penyumbang sampah terbesar di kota-kota metropolitan. Jenis sampah yang harus menjadi perhatian khusus adalah sampah dapur yang mayoritas adalah sampah organik, begitu pula dengan sampah halaman seperti daun atau tanaman pengganggu. Ya, pengolahan sampah memang harus dimulai dari sumbernya, yaitu organik dan anorganik. Dan diskusi pun difokuskan pada penanganan sampah organik, karena sifatnya yang mudah membusuk.
Tanah disemprotkan dengan air sampai kadar airnya mencapai 55%. Sementara, untuk cara mengeceknya cukup digenggam tanahnya dan akan keluar urat-urat air (tidak sampai menetes). Jumlah cacing tanah yang diperlukan adalah 1 cacing per 5 cm. Untuk ukuran wadah di atas diperlukan kira-kira 1 kg cacing tanah. Hasil panennya adalah kascing yang bisa diayak, dimana bentuk fisiknya berbeda sekali dengan tanah.
Kalau lahan pekarangannya luas bisa menggunakan komposter rumah tangga yang ditanam di tanah. Akan tetapi kalau lahannya sempit, maka bisa menggunakan komposter pot. Ini adalah skala kecilnya, sedangkan pembuatannya sama. Hanya diperlukan wadah berupa pot atau barang sejenis dan masukkan bahan-bahan berikut secara berurutan.Â
Lapisan paling bawah adalah pasir, lalu sampah dapur/organik yang sudah dicacah kecil-kecil (ukuran tidak lebih dari 5 cm), kotoran ternak, kapur, tanah, sampah dapur/organik, kotoran ternak, kapur, dan paling atas adalah tanah. Komposter pot ini didiamkan saja sampai semua campuran menjadi berwarnah hitam, dan hasilnya sudah siap untuk dijadikan wadah tanam. Mudah sekali.
Cairan ini akan siap panen dalam waktu 5 (lima) hari. Fungsi dari gula adalah sebagai sumber energi bagi perkembangbiakan mikroorganisme lokal. Cairan inilah yang nantinya disemprotkan pada media kompos yang akan dibuat. Tidak rumit ternyata, ya. Bisa dong dipraktikkan di rumah?
KESIMPULAN
Bu Lya menitip pesan bahwa tidak banyak orang yang peduli pada pengolahan sampah. Hampir semua orang peduli dengan air bersih karena air dibutuhkan oleh semua rumah tangga. Akan tetapi sampah hampir tidak dipedulikan karena itu adalah barang buangan. Beberapa bahkan tidak peduli dengan membuangnya bagaimana dan ke mana. Asal sudah jauh-jauh dari rumah, mereka tidak peduli lagi. Padahal sampah rumah tangga adalah faktor terbesar bagi perkotaan seperti Bandung ini.
Kalau pembakaran sampah tanaman seperti halnya petani yang ingin membuka lahan, lebih baik di tempat yang jauh dari pemukiman. Bagaimanapun, polusi asapnya amat mengganggu bagi orang-orang yang ada di sekitarnya, khususnya bagi orang-orang yang memiliki penyakit sesak napas.
Yuk, ah, mulai mengelola sampah rumah tangga sebisa yang dilakukan. Tidak ada kata terlambat, kok. Sosok itu pun kembali pulang dengan wajah bahagia karena ilmu baru siap diterapkan di rumah sederhananya. Sebelum pulang, dia pun duduk-duduk santai dahulu di tepi Jl. Dago sambil menyantap sate jando dengan sang belahan jiwa. Yummy![]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H