Jambrong adalah makanan khas Betawi Depok
Campurkan saja bawang merah-putih dan cabai
Beri tambahan rempah alami agar rasanya pas
Cuaca saat ini sudah tidak menentu dan tidak jelas lagi. Kadang sesuai dengan prakiraan cuaca, tetapi lebih banyak tidak cocoknya. Paling tidak, singkat-singkatan nama bulan masih rada sesuai dengan cuaca. Januari menjadi 'hujan setiap hari' jauh lebih cocok dibanding prakiraan cuaca. Untuk itu, selalu persiapkan jas hujan atau payung sebelum bepergian keluar rumah. Dan kalau lagi hujan, tentu lebih enak diam di rumah sambil meluk guling atau baca buku sembari ngemil. Tapi ... ngemil apa yang paling cocok? Itu kan tinggal selera masing-masing. Kalau ngemilnya makanan yang rada berat gimana? Gak ada salahnya dicoba, ujung-ujungnya kan jadi kenyang. Alhamdulillah.
Ini masih kisah lama yang tidak bisa dilupakan begitu saja, tepatnya pada hari Senin (14/12/2015), tepat setelah meramaikan Kompasianival 2015 di Gandaria City. Setelah kisah heroik yang bisa dibaca di tulisan Room Today Penyelamat Saat Kemalaman, sosok itu dan kawan-kawan merasa segar bugar. Jemputan pun datang tepat setelah sarapan bersama dan bebersih badan. Hatur nuhun, Mbak Ika, yang telah bersusah payah melayani semua kebutuhan para Blogger Petualang ini. Para pejuang pena yang berasal dari Bandung dan Surabaya. Alhamdulillah bahwa rezeki silaturahmi itu tidak pernah putus dan terus memberikan keberkahan bagi setiap langkah, amiiin. Dan pagi menjelang siang, sebuah mobil yang penuh dengan orang dan barang langsung melesat menuju selatan Jakarta.
Ada yang sudah mengenal dengan istilah 'Jambrong'? Bagi orang yang tinggal di pesisir pantai bisa jadi sudah mengenalnya, apalagi bagi yang tinggal di daerah Depok. Catat ya ... Depok tidak jauh dari Jakarta yang juga merupakan daerah pesisir pantai hehehe. Nah, kisah ini memang tidak jauh-jauh dengan salah satu suku di daerah Jakarta. Orang Betawi. Kenal Si Pitung, kan? Nah, pendekar berpeci itu konon doyan banget sama olahan Jambrong yang dicampur dengan nasi. Kalau tidak percaya, cari saja dengan mesin pencari di internet. Dijamin tidak akan ketemu ceritanya kalau Si Pitung suka banget dengan Jambrong hehehe. Hanya saja perlu diketahui bahwa memang benar kalau orang Betawi Depok itu suka banget dengan olahan Jambrong.
Jambrong adalah nama sejenis ikan yang hidup di pesisir pantai. Di Indonesia banyak sekali. Ada yang mengenalnya dengan nama ikan kerong-kerong, tapi lidah orang Betawi sudah nempel dengan istilah ikan jambrong atau abong. Di wilayah lain, ikan ini juga dikenal dengan nama ikan terapon atau jeprox fish. Ikannya sama tapi namanya macam-macam. Jenisnya sendiri sebenarnya ada tiga di dunia ini. Sesuai dengan nama latinnya, ada Terapon jarbua, Terapon theraps, dan Terapon puta. Nah, yang sering dikonsumsi oleh orang Betawi Depok adalah yang jenis Terapon theraps. Cara mengolahnya dengan mencampurkan bawang merah, bawang putih, cabai dan diberi tambahan rempah alami. Pokoknya sampai pas saja. Orang Betawi cenderung masak berlebih sehingga mereka memiliki persediaan masakan jambrong dengan cara disimpan di dalam toples. Kalau pas lapar, tinggal dicampur dengan nasi hangat. Asin pedas-pedas, gitu. Mantaaap!
Memang, di kalangan ikan asin, nama jambrong kalah populer jika dibandingkan dengan teri, gabus, atau bahkan jambal roti. Tidak hanya itu, takbanyak pula orang yang bisa mengolah ikan jambrong menjadi makanan sedap menggugah selera. Namun tidak demikian dengan pasangan Nurul Husnia dan Okto Melandana. Mereka yang sudah terbiasa dengan olahan jambrong malah ingin mencoba olahan lainnya. Hingga beberapa kali percobaan, akhirnya mereka berhasil membuat olahan jambrong yang benar-benar baru. Meski tidak mirip dengan abon sapi pada umumnya, mereka menamai olahan temuannya dengan Abon Jambrong. Nia dan Dana pun puas. Agar lebih khas dan tidak salah jurusan, mereka pun melengkapinya dengan nama Abon Jambrong Unia.
"Pak, maaf, boleh tahu di mana Komplek Megapolitan Cinere?" tanya Mbak Ika pada seorang pemuda yang baru saja keluar membawa selang di pinggir jalan. Di sana memang ada beberapa penjual tanaman hias. Pemuda tersebut ternyata tidak mau melihat wajah Mbak Ika, tapi malah terus melengos sambil menjawab ketus, "Gak tau!" dengan logat khas suku tertentu. Wah, kontan saja seluruh penghuni mobil pada tertawa. Ditanya baik-baik malah begitu, akhirnya tidak ada kesan 'respect' pada pemuda itu. Dan makin tidak 'respect' lagi karena komplek yang dimaksud hanya 10 meter saja dari lokasi bertanya, lalu berbelok ke kanan. Hei, ada apa dengan rasa kekeluargaan dan jiwa sosial? Semoga hanya orang itu saja.
Meski dengan rasa dongkol dan beragam rasa lain, alhamdulillah akhirnya ketemu juga dengan rumah Nia dan Dana. Mereka berdua bersama beberapa asistennya langsung menyambut rombongan itu dengan sumringah. Waktu sudah amat siang. Tampaknya telatnya sudah keterlaluan. Beberapa kawan lain sudah harus pamit duluan karena akan mengejar jadwal kereta menuju Malang yang memang mepet sekali. Sosok itu tersenyum bahagia, akhirnya dia bisa berkunjung di kediaman yang dijadikan markas pembuatan Abon Jambrong Unia. Semua tamu akhirnya diajak ke belakang dan langsung asyik 'ngariung' di lahan yang terasa nyaman. Cerita sedih dan akhirnya ditutup dengan kebahagiaan mengalir dari lidah Nia maupun Dana secara bergantian. Sebuah kisah jatuh bangun bagaimana agar Abon Jambrong Unia bisa diterima oleh masyarakat luas.