Mohon tunggu...
Bang Aswi
Bang Aswi Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Blogger Bandung | Kompasianer Bandung

Seorang penggila olahraga, tukang ulin, dan desainer yang menggemari dunia kepenulisan. Aktif sebagai pengurus #BloggerBDG dan konsultan marketing digital | Kontak: bangaswi@yahoo.com | T/IG: @bangaswi ... ^_^

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Bertemu Keluarga Baru di Bintan (Catatan 1)

2 November 2015   07:28 Diperbarui: 3 November 2015   08:03 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bemor atau Becak Motor menyambut para Kompasianer. Inilah kendaraan khas di pulau tersebut yang akan mengantarkan mereka berkeliling. Hanya dengan membayar Rp30ribu sampai Rp40ribu dijamin terpuaskan. Melewati jalan-jalan kecil yang berbahan semen atau batako. Bagi yang mau santai, bisa juga menyewa sepeda atau cukup dengan jalan kaki. Tujuan pertama adalah Kompleks Makam keluarga Raja Riau. Di sanalah dimakamkan Raja Ali Haji--yang namanya diabadikan menjadi nama bandara di Tanjung Pinang--yang juga menciptakan Gurindam Dua Belas, sebuah kitab yang berisi dasar-dasar bahasa Melayu hingga dijadikan standar utama dan kemudian pada Kongres Pemuda Indonesia 28 Oktober 1928 ditetapkan sebagai bahasa nasional, Bahasa Indonesia. Raja Ali Haji yang wafat pada 1873 ditetapkan sebagai pahlawan nasional melalui Kepres RI No. 089/TK/2004. Beberapa karya lainnya adalah Silsilah Melayu-Bugis (Tuhfat Al Nafis) dan Hukum Politik (Mukaddimah fi Intizam). Di dalam bangungan utama kompleks makam tersebut juga terdapat isi dari Gurindam Dua Belas.

Tujuan berikutnya adalah Balai Adat, sebuah replika rumah adat Melayu. Bangunan ini merupakan rumah panggung khas Melayu yang terbuat dari kayu. Fungsinya untuk menyambut tamu atau untuk perjamuan. Saat ini, Balai Adat digunakan oleh masyarakat sekitar sebagai tempat pernikahan, tunggal atau massal. Di dalam bangunan terdapat ruang di sebelah kiri dan kanan yang ketinggian lantainya agak di bawah. Sebelah kiri digunakan untuk keluarga mempelai laki-laki sedangkan di sebelah kanan untuk keluarga mempelai perempuan. Sedangkan di bawah panggung bangunan tersebut, terdapat sumur tua yang berisi air tawar dimana sumber cerita tentang pelaut yang tersengat lebah itu lahir. Air tawar itu terasa segar meski mentah. Pada saat musim kemarau sekalipun, sumur tersebut tidak pernah kering. Sosok itu sendiri mencoba untuk mencuci muka sekaligus meminum langsung air tersebut. Alhamdulillah, memang benar-benar menyegarkan. Hilang pula dahaga yang melandanya.

Perjalanan berikutnya dan merupakan tujuan terakhir di Pulau Penyengat adalah Masjid Sultan Riau. Masjid ini awalnya dibangun oleh Sultan Mahmud pada 1803 dan kemudian direnovasi pada masa pemerintahan Yang Dipertuan Muda VII Rada Abdurrahman pada 1832. Bangunan utama yang berukuran 18x32 meter ditopang oleh empat buah tiang beton dimana pada keempat sudutnya terdapat menara tempat bilal mengumandangkan azan. Seluruh bangunan masjid dibangun dengan menggunakan campuran putih telur, kapur, pasir, dan tanah liat. Konon, warna kuning pada dindingnya menggunakan kuning telur. Masjid Sultan Riau terdapat 13 kubah yang berbentuk seperti bawang. Jumlah keselurhan menara dan kubahnya ada 17 buah, dan itu melambangkan jumlah rakaat shalat wajib yang lima waktu. Pada sisi kanan dan kiri bagian depan masjid terdapat dua bangunan tambahan yang disebut dengan Rumah Sotoh, yang fungsinya dijadikan sebagai tempat pertemuan.

Pulau Penyengat memang eksotis. Di sanalah para pengunjung bisa belajar sejarah dan mengetahui adat istiadat dan kebudayaan orang Melayu. Di sana pula seluruh masyarakat Indonesia akan tahu bahwa Gurindam Dua Belas adalah cikal bakal Bahasa Indonesia yang dikenal hingga sekarang. Bahasa nasional yang pengaruhnya dapat mempersatukan nusantara. Luar biasa. Sungguh warisan leluhur yang mencerminkan Pesona Indonesia tiada tara. Untuk sementara, inilah catatan pertama yang bisa diceritakan sosok itu selama mengelilingi Pulau Bintan. Semoga tidak bosan untuk menunggu dan membaca catatan berikutnya dalam beberapa waktu ke depan. Salam Kompasianer dari Kompasianer Bandung alias KBandung.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun