Sabtu, 19 September 2015. Panas sang surya begitu menyengat kulit, padahal pagi belum beranjak jauh. Masih pukul 08.00 WITA saat keluar dari Benteng Fort Rotterdam. Menikmati perjalanan panjang dari Palu--Tana Toraja--Makassar selama seminggu ini begitu menyenangkan, meski jelas tubuh tidak bisa diajak kompromi kalau sudah malam. Trip istimewa yang didapat sosok itu saat lolos audisi untuk menjajal sebuah kendaraan berjenis city car keluaran Jepang.
Ya, ini kali pertama dirinya menjejakkan kaki di Bumi Celebes. "Sele'bessi" yang salah diartikan oleh orang-orang Portugis saat pertama kali mendarat dan kemudian dianggap sebagai nama pulau, padahal orang Bugis yang ditanyai sedang membersihkan 'Badik Besi'. Untuk itulah sosok itu harus benar-benar menjelajah dalam arti yang sebenarnya tentang keistimewaan Pulau Besi ini setelah mengunjungi Pusat Laut Donggala, Tana Toraja, dan Gunung Nona.
Herman, kawan blogger dari JJS Toraja, kemudian mengajak tujuh orang yang dibawanya untuk menyeberang jalan. Sosok itu kebetulan bersama dua kawan #BloggerBDG yang juga anggota Kompasianer Bandung (K-Bandung). Mereka kemudian berjalan menuju tepi pantai yang tidak terlalu bersih, dimana tertambat belasan perahu nelayan. Bukan Dermaga Kayu Bangkoa. Orang Makassar menyebutnya dengan istilah 'Katinting'. Herman mengobrol dengan salah satu nelayan dan kemudian memberitahu bahwa mereka bisa menuju Pulau Samalona dengan harga Rp50.000 per orang. Total jadi Rp400.000. Bau amis menyebar ke seantero udara. Sosok itu tidak aneh. Masa kecilnya memang sudah terbiasa bergaul dengan para nelayan di pantai utara Jakarta, Tanjung Priok. Setelah semua naik, sang nelayan mendorong katinting menjauhi pantai, menyalakan mesin, lalu bergerak perlahan ke tengah laut.
Ah, dunia seakan berputar kembali. Sosok itu merasakan kebahagiaan mencium aroma lautan di atasnya. Menyaksikan fosil kapal Naga Laut Mas 2 yang seperti sengaja dibiarkan, hingga kapal Pinisi. Pinisi adalah kapal layar tradisional khas asal Indonesia, yang berasal dari Suku Bugis dan Suku Makassar. Dia lalu berdiri, membelakangi arah katinting melaju dan membiarkan angin alam menggerakkan helai-helai rambutnya. Panas memang menyengat, tapi tidak mengurangi nilai masa-masa nostalgianya. Gelombang yang awalnya tenang mulai agak membesar. Terjangan katinting lalu memecahnya menjadi butiran air yang menyegarkan. Tangan sosok itu sengaja ditampar pada pecahan tersebut, sambil menyaksikan kapal-kapal yang membisu, rumah terapung, dan beberapa perahu nelayan yang hilir-mudik. Beberapa pulau terlewati, termasuk Lae-lae.
Butuh waktu sekira setengah jam untuk mencapai Pulau Samalona. Pulau yang tampak seperti telapak kaki jika dilihat dari atas itu pun akhirnya terlihat. Begitu indah saat semakin dekat dan makin membesar. Perairan yang ada di sekitarnya terlihat biru terang. Jernih. Dengan mata telanjang, dirinya sudah dapat melihat karang-karang putih di bawahnya. Beberapa orang asyik melakukan aktivitas snorkeling dan di kejauhan ada yang bermain banana boat. Benar-benar tenang dan dapat menyembuhkan penyakit stres khas orang perkotaan. Sepanjang mata memandang, hanya biru. Biru lautan dan biru langit bersatu, dibatasi garis horizon. Katinting mereka kemudian mendarat di pantai, bukan dermaga yang memang sudah disediakan. Setelah itu, saat kaki menjejak di pasir pantai putihnya, sosok itu seolah-olah menemukan surga baru setelah perjalanan 6 (enam) harinya.
SAMALONA NAN CANTIK
Samalona dalam bahasa Makassar bisa berarti Sa’malo-malona atau sangnging ammalo-malona. Maksudnya, pulau itu dahulu hanya dilewati begitu saja dan tidak pernah disinggahi oleh siapa pun. Menurut cerita penduduk setempat, pulau itu dijadikan tempat pembuangan pada zaman Belanda. Bahkan, ada bekas rumah orang Belanda yang pernah tinggal. Kini keadaanya sudah berubah, Samalona telah menjadi salah satu tujuan wisata di Makassar. Hanya saja sayang, pulau yang dulunya luas ini makin menyusut dari tahun ke tahun. Perlu perhatian pemerintah agar Samalona tidak hilang dari peredaran, sebagai bagian dari Pesona Indonesia. Ada beberapa rumah di sana dengan posisi yang tidak teratur. Ada yang menjadi tempat tinggal, ada juga yang memang dipersiapkan untuk para turis yang ingin menyewa. Beberapa kamar mandi disediakan untuk membilas. Begitu pula dengan mushala dan bale-bale sekadarnya guna menghindari sengatan sinar matahari.
Konon, awalnya ada 7 (tujuh) keluarga yang dianggap memiliki Pulau Samalona. Hal itu terlihat dari papan nama yang tergantung di atas dermaga. Orang pertama dipercaya bernama Hamja Dg. Rurung/Dg. Ngalang, lalu dilanjutkan pada keturunannya seperti 1) Rauf Dg. Bani, 2) Hamzah Dg. Ngitung, 3) Colla Dg. Naba, 4) Basse Dg. Ni'ning, 5) Minggu Dg. Tika, 6) Ceko Dg. Ngasi, dan 7) Re'go Dg. Tarru. Awalnya mereka hidup dengan menjalani pekerjaan sebagai nelayan, namun seiring makin banyaknya turis yang datang, mereka pun mulai memutar otak. Mereka membangun sendiri fasilitas umum di sana. Menyewakan rumah, bale-bale, peralatan snorkeling atau menyelam, dan termasuk menyeberangkan para wisatawan dari Makassar. Air bersih didatangkan sendiri dari Makassar, dan listrik hanya mengandalkan genset seadanya. Wajar jika kemudian biaya selama di sana tergolong mahal, hal ini memang berlaku di tempat wisata di pulau manapun.
Hanya saja sayang, penataannya masih terbilang kurang. Sampah tampak terlihat di beberapa tempat. Rumah yang ada pun tidak terlalu menarik, tidak sebanding dengan alamnya yang cantik. Fasilitas umum dibuat ala kadarnya. Asal ada kamar mandi, asal ada mushala, asal ada bale-bale, asal ada tempat berjualan. Semuanya diurus secara mandiri. Bisa jadi tidak ada bantuan dari pihak pemerintah ataupun swasta. Amat disayangkan. Padahal lingkungan di sekitarnya sudah dianggap juara. Di tepi pantai saja, sosok itu sudah bisa melihat gugusan karang dengan beberapa hewan air. Bintang laut berwarna biru, tripang yang begitu bebas kesana kemari, bahkan sempat dilihatnya ular laut lewat. Para wisatawan begitu asyik ber-snorkeling di beberapa titik. Kalau mau yang lebih ekstrem lagi, adalah bangkai kapal perang peninggalan Perang Dunia II yang bisa dilihat dengan diving tak jauh dari Samalona.
Penginapan yang ada di Pulau Samalona jelas belum mencirikan penginapan yang ramah lingkungan (
eco-friendly). Amat jauh jika dibandingkan dengan Casa Folha yang berada di Angra dos Reis, Brazil. Rumah Daun tersebut menggunakan bahan-bahan alam yang ada, didesain agar ventilasi udara berjalan dengan baik tanpa harus menggunakan AC, mencirikan enam helai daun yang simetris, dan sistem atap yang dapat menampung air hujan untuk toilet atau menyiram tanaman. Fasilitasnya juga bahkan juga tertinggal dari penginapan yang ada di Pulau Bidadari yang memang dikelola secara profesional oleh pihak swasta. Akan tetapi bukan berarti tidak bisa mengejar. Salah satu
Pesona Indonesia harus benar-benar didukung oleh pihak pemerintah atau swasta. Jadi tidak didiamkan begitu saja oleh keluarga besar yang mendiami pulau tersebut.
Dengan begitu, sosok itu berharap (dan tidak hanya bermimpi), bahwa suatu hari nanti di Pulau Samaloga akan ada resort atau tempat penginapan yang menawarkan konsep ramah lingkungan secara menyeluruh. Sebuah
eco-resort yang
eco-friendly. Dia yakin hal itu akan menjadi kemajuan dari industri pariwisata yang akan menambah penghasilan penduduk setempat dan sekaligus pundi-pundi kas daerah/negara. Studi bandingnya sudah dijelaskan di atas, tinggal bagaimana penerapannya. Konsep sederhana itu lalu bisa diperbanyak di beberapa tempat yang memang memberikan tujuan wisata yang eksotis bahwa Indonesia itu memang indah dan layak dikunjungi. Semoga.[]
Dan sosok itu bahagia
Meninggalkan pulau menawan
Membelah lautan biru
Ditemani camar yang bebas
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Travel Story Selengkapnya