Mohon tunggu...
Bang Aswi
Bang Aswi Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Blogger Bandung | Kompasianer Bandung

Seorang penggila olahraga, tukang ulin, dan desainer yang menggemari dunia kepenulisan. Aktif sebagai pengurus #BloggerBDG dan konsultan marketing digital | Kontak: bangaswi@yahoo.com | T/IG: @bangaswi ... ^_^

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Suara Hati Itu Bernama Etika

13 September 2015   11:04 Diperbarui: 13 September 2015   11:27 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Entahlah, kok tangan ini gatel ingin ngomongin etika. Jadi keingetan seorang sahabat baik yang dulu sekantor dan sekarang makin bersinar dan biasa disebut sebagai Patika alias Papah Etika hehehe. Oke, etika itu ya moral. Aturan taktertulis tentang bagaimana seseorang atau kumpulan orang saling berkomunikasi. Dalam lingkup organisasi etika ini menjelma nama baru menjadi peraturan atau undang-undang. Kurang lebih begitu. Sederhananya, etika itu ya suara hati.

Semua tatanan kehidupan manusia dinilai oleh yang namanya etika, meski dengan nama berbeda. Etika berasal dari kata 'ethics' (Inggris) dan lebih jauh lagi dari kata 'ethikos' atau 'ethos' (Yunani Kuno) yang berarti kebiasaan. Etika itu ya moral. Di dunia literasi, etika terbagi menjadi Etika Filosofis dan Teologi. Teologi ini hulunya ya Tuhan. Agama. Ada perbedaan pendapat mana yang lebih kuat, tapi sosok itu tetap memilih Agama sebagai acuan tertinggi. Dalam Islam ya acuannya Al-Quran.

Berpendapat atau mengkritik juga harus didasari oleh etika. Dua orang yang berdiskusi atau ngobrol tentu harus memahami hal ini, apalagi jika salah satunya ingin mengkritik lawannya. Kritikan membangun tentu lebih disukai. Kritik itu baik, tapi jika disampaikan dengan cara yang tidak baik tentu akan menjadi masalah baru. Di dunia kepenulisan juga begitu sehingga muncul istilah Etika Jurnalistik. Wartawan memiliki etika yang jelas, ada badan hukumnya. Kalau blogger? Hmmm ... semuanya kembali ke suara hati. Paling gampang ... sebelum berpendapat atau mengkritik alangkah baiknya jika memposisikan diri sebagai orang yang akan dikritik. Paling tidak, jadi memahami kalau ingin mengkritik begini akan jadi bagaimana. Begitu seterusnya.

Soal makanan juga sulit mencari acuan yang benar. Semuanya serba subjektif. Ada yang suka asin, ada yang suka pedas, ada yang suka manis, dan seterusnya. Asin versi sang belahan jiwa sangat berbeda dengan asin versi sosok itu hehehe. Suatu hari pernah sosok itu disajikan menu mewah dari resto mewah. Dari semua yang disajikan ternyata salah satunya mengandung daging babi. Memotret jalan terus tapi kalau mencicipi ... mohon maaf kalau akhirnya dia tidak menyentuh satu pun makanan yang disajikan. Reviewnya? Ya dengan etika di atas tadi. Menulis dengan santun dengan landasan suara hati. Dengan landasan utama yang dia pahami, yaitu Al-Quran. Kalau reviewnya baik-baik, ya gak masalah. Yang jeleknya ada, tapi disampaikan dengan santun, tidak blak-blakan. Kalau ada yang jelek banget, disampaikan lewat jalur privasi. Langsung ke ownernya atau ke chefnya. Itu lebih baik.

Sosok itu juga pernah membaca salah satu kolom di Harian Kompas tentang bencinya seseorang pada pesepeda. Apa yang ditulis tidak berdasarkan kebencian subjektif tapi berdasarkan fakta-fakta yang ada. Wajar lah, selalu ada pesepeda yang sering melanggar di jalan raya. Banyak pesepeda yang kebakaran jenggot dan marah-marah. Ini juga wajar. Dia juga marah, dalam hati. Tapi ... kemudian sosok itu langsung menulis di kolom yang sama dan alhamdulillah dimuat. Dia membantah semua kebencian itu, juga dengan memberikan beberapa fakta dan bukti yang kuat. Yup, kritikan dibalas dengan kritikan, di media yang sama. Bukan nyinyiran atau hujatan di sosmed. Sama-sama santun. Jadi enak kan endingnya.

Balik lagi ke masalah etika di atas. Semua kehidupan manusia ini memang harus dijalani dengan landasan etika. Saat berkomunitas. Saat berkomunikasi dengan seseorang. Ngobrol dengan orang di pinggir jalan tentu berbeda dengan ngobrol dengan orang perkantoran. Memberi saran atau kritikan pada A bisa jadi tidak bagus kalau diberikan pada B. Menghadiri undangan juga ada etikanya. Etika di cafe biasa tentu berbeda jika di resto mewah. Semua ada tempatnya. Bukan sok-sokan, tapi lebih menghargai yang punya tempat, yang sudah bersusah payah mengonsep bahwa yang datang itu akan begini dan begitu. Sebuah event pun sudah dikonsep dengan tidak mudah dan butuh biaya, jadi ya menghadirinya harus dengan etika. Tidak serta merta mentang-mentang dirinya seorang pejabat atau apa pun titelnya. Dan sekali lagi tidak usah bingung dengan teori etika yang ada di buku-buku ... sederhana saja, etikanya cukup dengan mendengarkan suara hati. Bisa ditambah juga dengan pelajaran moral dari agama yang dianut. Ituh![]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun