Lalu ada Udang Pammarasan. Penyajiannya disatukan bersamaan dengan Ayam Saksang dan nasi kuning. Entah mengapa nasi kuningnya berbentuk piramida dengan bentuk kecil. Mungkin karena laparnya, Adik sampai menerima nasi milik Mas Bhai dan menghabiskannya. Hatur nuhun, Mas. Bisa jadi sajian udang dan ayam tadi dianggap sebagai lauk pauknya alias temannya nasi. Ada juga Ikan Tombur. Sosok itu suka, apalagi disajikan di atas papan kayu. Ikan yang digunakan adalah ikan mas kecil atau gurame fillet. Hanya dagingnya saja. Kepala, kulit, dan ekornya sudah dihilangkan. Yang membuatnya khas adalah bumbu tomburnya yang menggunakan bawang merah, kunyit, batang rias (batang kecombrang muda), dan kemiri. Inilah bumbu khas masakan Batak/Toraja. Dan jujur, setelah beberapa jam rasa bumbu itu baru hilang dari lidah. Ini serius. Jelas amat berbeda ketika selesai makan di beberapa resto/kafe atau bahkan makanan cepat saji.
Cara penyajian di atas plate (bisa piring, mangkok, atau bahkan papan) jelas istimewa. Penyajian ala internasional. Sedikit, tapi menggoda mata. Sejarah dan bagaimana Rahung mencium bumbu-bumbunya juga asyik punya. Sangat terlihat betapa dia begitu mencintai bumbu-bumbunya dan menguasai sejarahnya. Meski ada sedikit ucapannya yang diralat oleh tamu undangan terutama terkait dengan masakan khas Jawa. Selain menu-menu di atas, sebenarnya masih ada juga menu-menu khas Toraja/Batak yang disajikan, yaitu Ikan Lais Garing (dengan Salsa Andaliman). Semuanya ternyata familiar dengan lidah sosok itu, tidak seperti gambaran awalnya. Di sinilah baru ia tahu betapa kekayaan nusantara itu bisa dinikmati dari jenis masakannya. Dan beginilah seharusnya dunia kuliner itu disajikan. Meski memang saat pulang perutnya tidak merasa kenyang. Mantap![]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H