Mohon tunggu...
Bang Aswi
Bang Aswi Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Blogger Bandung | Kompasianer Bandung

Seorang penggila olahraga, tukang ulin, dan desainer yang menggemari dunia kepenulisan. Aktif sebagai pengurus #BloggerBDG dan konsultan marketing digital | Kontak: bangaswi@yahoo.com | T/IG: @bangaswi ... ^_^

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Ngaboseh ke Candi Plaosan

19 Juni 2015   18:45 Diperbarui: 20 Juni 2015   02:38 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pamer dulu di tengah Kota Jogja

Bersepeda, tidak hanya mencari keringat
Lebih dari itu, ia bisa dijadikan alat transportasi
Bukan hanya digunakan di dalam kota
Tetapi juga bisa sampai ke luar kota

Saat itu pagi belum beranjak jauh. Beberapa toko baru saja membuka pintunya dan siap menerima pembeli. Sinar matahari menerpa wajah dari arah depan. Perjalanan ke timur saat pagi memang akan selalu seperti itu. Saya, Kang Deni, dan Almarhum Bapak (dan ini adalah momen terakhir bisa bersepeda bersama dengan beliau) kemudian mampir di sebuah warung nasi di tepi jalan raya Jogja-Solo, entah kilometer berapa. Asap masih mengepul dari tempat nasi, begitu pula dengan kehangatan beberapa gorengan yang menggoda mata. Satu porsi kuli dengan harga bersahabat menjadikan sarapan begitu nikmat. Perjalanan ngaboseh menuju Candi Plaosan masih belasan hingga puluhan kilometer lagi. Jangan sampai energi keburu habis sebelum sampai tujuan yang tidak tahu apa dan bagaimana kondisinya. Ya, apalagi ini trip pertama saya bersepeda di Yogyakarta. Ini cerita bersepeda saya di luar kota.

Kok, tiba-tiba ada di Jogja? Ya, ini memang merupakan bagian dari acara silaturahmi salah satu komunitas sepeda beberapa waktu lalu. Ada beberapa pesepeda yang ngaboseh langsung dari Jakarta atau Bandung menuju kota pelajar yang jalan rayanya begitu ramah bagi para pesepeda jika dibanding kedua kota tersebut. Akan tetapi mayoritas, termasuk saya lebih memilih menggunakan kereta api. Benar, ternyata kita bisa bersepeda jauh dan bisa menikmati suasana ngaboseh yang berbeda di kota lain tanpa harus mengeluarkan banyak energi dengan menggunakan jasa transportasi massal seperti bus, kereta api, atau bahkan pesawat. Sepeda diangkut menggunakan kereta logistik (kalog) dengan biaya tersendiri, tapi kalau harganya dianggap agak mahal, bisa memilih beberapa jasa ekspedisi lainnya yang ada di sekitar Stasiun Bandung. Untuk sepeda yang bisa dilipat, tentu bisa dibawa ke dalam kereta penumpang dan ini jelas biayanya akan lebih murah.

Dari tengah kota atau dari stasiun, perjalanan bisa langsung ke arah utara sampai ketemu jalan raya Jogja-Solo. Setelah melewati pertigaan Ring Road Utara, kami pun memasuki wilayah kompleks candi. Memang ada banyak candi di sini dan bisa ditelusuri satu persatu kalau waktunya memang ada. Pertama ada Candi Sambisari di sebelah utara Bandara Adi Sutjipto, lalu ada Candi Kalasan yang letaknya di sisi jalan sebelah kanan. Setelahnya ada Candi Sari di sebelah kiri jalan, hingga akhirnya bertemu dengan candi yang sudah terkenal dengan legendanya, yaitu Candi Prambanan. Akan tetapi kami melanjutkan perjalanan lalu berbelok ke kiri memasuki jalan Candi Sewu (ada pos polisi), yang memang ada Candi Sewu di sisi kiri jalan setelah hampir 1 km dari Prambanan. Sampai akhirnya bertemu dengan pertigaan, kami pun berbelok ke kanan yang dikenal sebagai jalan Candi Plaosan. Pesawahan dan kebun memenuhi pemandangan di sisi kanan dan kiri, rumah-rumah penduduk sudah mulai agak berjauhan. Dan di ujung jalan, Candi Plaosan Lor berdiri gagah di sebelah kiri.

Sebagai pengetahuan, Candi Plaosan adalah sebutan untuk kompleks percandian yang terletak di Dukuh Plaosan, Desa Bugisan. Disebut kompleks karena terbilang cukup luas dengan beberapa candi. Letaknya kurang lebih satu sampai dua kilometer ke arah timur-laut dari Candi Sewu. Ada dua pendapat mengenai siapa pendiri candi ini, tetapi yang paling terkenal adalah pendapat De Casparis yang berpegang pada isi Prasasti Cri Kahulunan (842 M), yaitu bahwa candi Buddha ini dibangun pada masa pemerintahan Rakai Pikatan dari Kerajaan Medang (Mataram Kuno), yaitu pada awal abad ke-9 M. Konon, candi ini adalah hadiah dari Rakai Pikatan untuk istri tercintanya, Pramudyawardani yang disebut sebagai Sri Kahulunan, putri Samarattungga dari Wangsa Syailendra. Dari pernikahan ini akhirnya bisa dijelaskan mengapa sebagai candi Buddha, Candi Plaosan memiliki perpaduan arsitektur agama Buddha dan Hindu. Wangsa Syailendra adalah penganut agama Buddha sedangkan Rakai Pikatan berasal dari Wangsa Sanjaya, penganut agama Hindu.

Di luar pro dan kontra siapa pendirinya, kurangnya pohon pelindung di Dukuh Plaosan tidak hanya menyebabkan perjalanan ngaboseh kali ini begitu melelahkan, tetapi juga menjadikan Candi Plaosan begitu jelas terlihat dari kejauhan. Kami bahkan sampai berteduh sementara di pinggir jalan yang ada warungnya di depan gerbang candi demi seteguk air dingin guna menyejukkan tenggorokan yang makin mengering. Kami lalu mendorong sepeda memasuki area candi dan segera menemui penjaga untuk membayar karcis. Satu orang dikenai tiket Rp5.000 sebagai upah untuk melestarikan kebudayaan yang masih ada. Ada juga buku tipis fotokopi tentang Candi Plaosan yang bisa dibeli. Sebuah batu besar di sebelah kiri menjelaskan bahwa candi ini diresmikan oleh Prof. Dr. Ing. Wardiman Djojonegoro, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, pada tanggal 19 Pebruari 1998.

Sempat mampir ke Candi Prambanan setelah dari Candi Plaosan

Ciri khas dari Candi Plaosan adalah adanya pembagian berdasarkan arah mata angin, yaitu Plaosan Lor dan Plaosan Kidul. Saya lebih memilih mengunjungi Candi Plaosan Lor karena memiliki dua candi utama yang terbilang besar. Candi yang terletak di sebelah kiri (utara) dinamakan Candi Induk Utara dengan relief yang menggambarkan tokoh-tokoh wanita, sedangkan candi yang terletak di sebelah kanan (selatan) dinamakan Candi Induk Selatan dengan relief menggambarkan tokoh-tokoh laki-laki. Adanya dua candi utama inilah mengapa Candi Plaosan juga sering disebut sebagai candi kembar. Batu-batu candi bertebaran di beberapa area karena memang proses pemugaran candi ini terus dilakukan. Pemugaran besar-besar dilakukan dua kali, yaitu pada tahun 1962 oleh Dinas Purbakala serta tahun 1990-an oleh Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Tengah.

Awalnya, kami tidak diperbolehkan membawa sepeda masuk ke dalam area candi, tetapi harus diparkir. Pada akhirnya, setelah berdiskusi ringan dan penuh kekeluargaan, saya dan Kang Deni diiizinkan membawa sepeda dengan syarat berhati-hati. Apalagi memang saat itu belum ada pengunjung lain sehingga tidak terlalu mengganggu. Itulah mengapa saya berhasil mengabadikan momen bersepeda di kawasan Candi Plaosan. Amat mengesankan. Setelah puas berfoto sambil ngaboseh, datang rombongan para pelajar SMP dengan dua bus. Sepeda pun segera diparkirkan di tempat semula. Meski matahari bersinar begitu terik dan siang makin menampakkan kegarangannya, saya dan beberapa pengunjung masih bisa berteduh sejenak di bawah bayang-bayang candi dan duduk di alas rumput yang memang menjadi ciri khasnya, seolah permadani hijau terbentang di sekeliling candi.

Saya tidak berani bersepeda sampai ke dalam, cukup di bagian luar dan hanya untuk tujuan foto. Untuk berkeliling, saya cukup berjalan kaki. Seandainya kompleks candi ini utuh tentu akan terasa kemegahannya dan mistis. Saat berjalan sendiri dan hanya memandangi batu berusia ribuan tahun, seolah ada banyak pasang mata yang memerhatikan. Entah dari mana. Bisa saja itu adalah Amitbha atau Ratnasambhava. Saya pun tidak berani macam-macam, hanya bisa membayangkan bagaimana orang-orang terdahulu bekerja membuat candi ini. Berapa puluh tahun waktu yang digunakan untuk membangunnya. Apakah mereka sudah mengenal kendaraan beroda dua sebagai alat transportasi? Mungkin Vairochana atau Aksobya bisa menjawabnya.

Puas berkeliling, saya melambaikan tangan pada arca Dwarapala yang saling berhadapan di pintu selatan. Katanya ada juga yang di pintu utara, tapi tidak sempat ke sana. Arca setinggi manusia ini berada dalam posisi duduk, kaki kanannya terlipat atau bersila sementara kaki kirinya ditekuk berdiri di depan tubuh. Tangan kanannya memegang gada, sedangkan tangan kiri diletakkan di atas lutut kiri. Sebuah arca yang menyeramkan, sebenarnya. Perjalanan kembali ke kota Yogyakarta jelas akan melelahkan mengingat teriknya sinar matahari. Jalan desa yang sudah diaspal dan sepi dari kendaraan bermotor sudah menanti di depan. Paling tidak suasana pedesaan sedikit memberi hawa kesejukan. Apalagi nanti ada rencana mampir juga ke Candi Prambanan lewat jalan belakang, menyusuri sebuah kali yang entah namanya apa dan mencoba merasakan aura legenda yang begitu mahsyur. Hingga pada akhirnya kembali ke Bandung keesokan harinya dengan kereta api.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun