Surat dan Latihan Menulis
Sejak beberapa tahun ini, kantor pos di seluruh dunia mengeluhkan kian sedikit orang yang mengirimkan surat, karena orang lebih seronok mempergunakan surat elektronik dan SMS yang jatuhnya lebih cepat dan lebih murah. Lebih praktis pula karena tidak usah pergi ke kantor pos membeli prangko dan lain-lain. Beberapa belas tahun sebelumnya yang mengeluh adalah kantor telegram, sehingga banyak yang ditutup (atau semua kantor telegram sudah ditutup?), karena setelah ada faks orang lebih suka menggunakan faks daripada telegram.
Penemuan teknologi baru kian mempermudah orang untuk melaksanakan keperluannya. Akan tetapi, akibat dari penemuan komputer yang memungkinkan mengirimkan surat elektronik dan penemuan telepon genggam yang memungkinkan mengirimkan SMS tidaklah hanya terhadap kantor pos, melainkan juga kepada kebiasaan dan keterampilan orang menulis surat. Menulis surat adalah latihan untuk mengemukakan pikiran (dan perasaan) dengan kalimat-kalimat yang jelas, cerdas, dan indah. Menulis surat juga merupakan latihan menggunakan bahasa tertulis secara tertib.
Masalahnya, menulis surat elektronik atau SMS, orang tidak perlu lagi menggunakan bahasa yang tertib. Entah bisa jadi dengan alasan dibatasi oleh sejumlah karakter tertentu, menulis surat elektronik atau SMS jadi terbiasa disingkat—yang sebenarnya belum umum digunakan orang lain. Dengan demikian, menulis surat elektronik atau menulis SMS tidaklah melatih orang untuk berbahasa secara baik dan jelas, jangankan indah. Kebiasaan itu niscaya akan ada pengaruhnya terhadap kemampuan orang dalam berbahasa.
Dengan penemuan teknologi canggih, kemampuan orang Indonesia berbicara atau menulis niscaya kian rendah lagi, apalagi ditambah dengan kemampuan membaca yang juga terlihat semakin rendah. Teknologi canggih bukan membantu orang Indonesia agar dapat mengemukakan pikirannya dengan baik, jelas, dan runtun, melainkan kian kacau, karena semboyannya “asal dapat dimengerti”. Janganlah bermimpi bahasa nasional kita akan menjadi bahasa dunia. Apalagi, kalau kita sebagai bangsa yang mempunyainya tidak memiliki kebanggaan terhadapnya. Terbukti, kita enggan mempelajarinya, enggan membacanya, dan bersikap tidak peduli terhadapnya. Bahkan, kalau menggunakannya selalu diselingi dengan kata-kata atau kalimat-kalimat bahasa Inggris.
Kesimpulan dari semua tulisan di atas itu mengerucut pada satu pertanyaan yang sangat sederhana. Tidakkah Anda bangga sebagai orang Indonesia?[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H