Mohon tunggu...
Ardi Bagus Prasetyo
Ardi Bagus Prasetyo Mohon Tunggu... Guru - Praktisi Pendidikan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Seorang Guru Muda, ASN, lulusan Universitas Mulawarman tahun 2020, Pendidikan, Biografi, sepakbola, E-sport, Teknologi, Politik, dan sejarah Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pulau Kumala Kutai Kartanegara: Dulu Gahar, Sekarang Terlantar?

9 Desember 2022   16:30 Diperbarui: 9 Desember 2022   16:30 1107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tepat pada tanggal 7 Desember 2022, SMP Negeri 4 Samarinda resmi melakukan perjalanan pertama dalam rangka kunjungan kerja lapangan atau KKL yang diselenggarakan selama tiga hari yakni terhitung sejak 7 hingga 9 Desember 2022. 

Hampir 800 orang siswa beserta guru-guru terlibat dalam acara yang baru diadakan tahun ini. Bertajuk 'wisata belajar', tentu ada tujuan dan maksud besar mengapa kegiatan tersebut diadakan. 

Salah satunya adalah untuk memberikan hal-hal edukatif yang bermanfaat terkait sejarah Kalimantan Timur dengan mengunjungi tempat-tempat wisata bersejarah yang ada di Kalimantan Timur. Adapun tempat yang dikunjungi pada kegiatan tersebut adalah Museum Tenggarong dan Pulau Kumala.

Waktu tempuh yang dibutuhkan untuk akses menuju dua tempat wisata tersebut kurang lebih 2,5 hingga 3 jam perjalanan dengan menggunakan kapal wisata yang dikenal dengan sebutan 'Pesut Bentong'. 

Kapal wisata yang mampu mengangkut hampir 180 penumpang tersebut merupakan salah satu dari banyak kapal wisata yang ada di Samarinda bahkan salah satu yang cukup familiran bagi warga Samarinda. 

Menikmati perjalanan dengan menyaksikan hamparan aliran sungai khas dari Mahakam, barisan rumah warga di pinggir sungai, area-area tambang Batu Bara, serta beberapa jembatan ikonik khas Samarinda menjadi pemandangan yang wajib diabadikan saat berwisata menggunakan kapal wisata.

Perjalanan yang diadakan selama satu hari tersebut dibagi ke dua tempat, tempat pertama yang dikunjungi adalah Museum Tenggaring, dan kedua adalah Pulau Kumala. 

Mendengar nama pulau Kumala mungkin saya sedikit ingat bahwa tempat tersebut memang ikonik dan khasnya Kota Tenggarong. Hijau bersih, Penyewaan Sepeda, terdapat semacam kuil atau candi khas kesultanan Kutai, Patung Lembuswana, Home Stay di tengah pulau, dan lainnya menjadi sajian yang wajib dinikmati. 

Akan tetapi semua seakan berubah saat kaki saya pertama kali menginjaki kesekian kalinya di pulau tersebut. Ada yang aneh memang dari kejauhan, beberapa yang aneh dan tak biasa saya lihat adalah dermaga atau pelabuhan sandar yang kumuh tak terawat, gazebo yang rusak, beberapa taman yang terendam, homestay yang terbengkalai, jalan-jalan yang sudah mulai tertutup semak belukar, tempat penangkaran burung yang rusak, fasilitas berfoto yang sudah tak layak digunakan, dan masih banyak lagi adalah pemandangan sepat yang saya dan bahkan wisatawan lain nikmati.

Terbengkalainya tempat wisata Pulau Kumala memang menjadi sebuah hal yang mengejutkan. Padahal jika kita kaji bersama, tempat wisata sendiri adalah salah satu sektor pendapatan daerah yang amat penting dalam meningkatkan pendapatan daerah serta membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam bidang ekonomi. 

Lalu apa sebenarnya yang menjadi penyebab terbengkalainya tempat wisata Pulau Kumala di Kutai Kartanegara tersebut?

Pandemi Covid-19

(Dokpri-salah satu sarana wisata pulau Kumala)
(Dokpri-salah satu sarana wisata pulau Kumala)

Tak dapat dipungkiri dan ditepis bahwa pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia sejak 2020 lalu memang telah menghancurkan dan meluluhlantahkan beberapa sektor kehidupan masyarakat. Mulai dari ekonomi, sosial, kesehatan, pendidikan, hingga pariwisata juga tak luput dari imbas buruk pandemi Covid-19. 

Akibatnya, beberapa tempat wisata harus rela ditutup oleh pemerintah selaku pengelola agar dapat membantu pemerintah dalam menekan laju penyebaran wabah tersebut. Kurang  lebih dua tahun Pulau Kumala ditutup aksesnya untuk umum. Bahkan warga lokal sendiri tak diperbolehkan untuk datang bertamasya ke sana. 

Dampak dari penutupan tersebut, tempat wisata Pulau Kumala menjadi tak terurus dan beberapa fasilitas atau sarana hiburan juga rusak. Yang lebih parah, pulau Kumala kini sudah tak terlihat sebagai tempat rekreasi  lagi melainkan seperti pulau kosong tak berpenghuni.

Pengelolaan dan Perawatan yang tak optimal

(Dokpri-salah satu tempat yang terendam air mahakam)
(Dokpri-salah satu tempat yang terendam air mahakam)

Minimnya pengelolaan dan perawatan yang baik dari pemerintah terkait atau pengelola tempat wisata tersebut menjadi salah satu penyebab terbengkalainya salah tempat wisata di Tenggarong dengan luas hampir 76 hektar tersebut. 

Melansir dari MediaKaltim.co.id, Sub Koordinator Daya Tarik Destinasi Wisata, Dinas Pariwisata Kukar, Hetty menyatakan bahwa, beberapa tahun lalu, Pulau Kumala menjadi salah satu objek wisata yang paling banyak dikunjungi wisatawan lokal maupun mancanegara. Pada 2019, ia menyebut, jumlah pengunjung pulau ini mencapai 10.318 orang. Dari kunjungan itu saja, Pemkab Kukar selaku pengelola Pulau Kumala mampu meraup omzet hingga Rp 1 miliar.

Akan tetapi, setelah pandemi melanda dan tempat wisata Pulau Kumala ditutup selama dua tahun. Tempat wisata tersebut mendadak terbengkalai. Yang lebih parah, tak adanya pengelolaan dan penanganan lanjutan dari pemerintah terkait perawatan tempat wisata tersebut menjadi penyebab utama dari rusaknya beberapa sarana di tempat tersebut.

Kerjasama dengan pengelola swasta yang kerap gagal

Usut punya usut, keinginan pemkab Kukar untuk memberikan kewenangan kepada pihak swasta dalam pengelolaan Pulau Kumala memang sangat besar. Pasalnya, alasan anggaran yang begitu besar dan dibebankan kepada pemkab Kukar menjadi masalah yang belum terselesaikan hingga saat ini. Beberapa cara telah diupayakan agar pulau Kumala dapat dikelola penuh oleh pihak swasta demi meningkatka kualitas sarana dan pelayanan kepada para wisatawan. 

Salah satunya adalah ditawarkannya kepada beberapa pihak asing untuk dapat membuatkan wahana kereta gantung yang dapat menghubungkan pulau Kumala dengan pusat kota sebagai jalur akses yang mudah bagi wisatawan. 

Namun upaya tersebut hingga saat ini masih gagal dan belum menemui titik terang. Lantas bagaimanakah perhatian dari Kemenparekraf terkait masa depan Pulau Kumala sebagai ikonik khas Kutai Kartanegara?

Itulah beberapa ulasan terkait muramnya wajah Pulau Kumala sebagai tempat wisata ikonik di Kaltim. Segala hal yang dituliskan hanya sekedar teks informatif dan berdasarkan pada pengalaman pribadi tanpa ada maksud menyudutkan siapapun. Semoga pulau Kumala dapat lebih baik lagi dalam hal kualitas sarana prasarana serta layanannya. 

#SalamLiterasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun