Bagaimana anggapan anda tentang pendidikan saat ini? masihkah anda atau bahkan sebagian dari kita yang membaca tulisan ini berpikir bahwa "Untuk apa sih  sekolah tinggi-tinggi? Mending langsung kerja aja lah." Tak sepenuhnya kita dapat menjustifikasi bahwa anggapan tersebut salah dan keliru, namun jika dikatakan asumsi tersebut benar juga tak bisa diterima apalagi jika kita melihat realita atau keadaan saat ini bahwasannya pendidikan memang menjadi aset berharga atau salah satu investasi yang paling vital dan fundamental bagi seluruh umat manusia.
Jika kita mencoba membaca dan merenungi tentang esensi pendidikan dari seorang mantan pejuang kemerdekaan yang bergerak di bidang pendidikan dan dijuluki sebagai Bapak Pendidikan Indonesia yakni Ki Hajar Dewantara, beliau menyampaikan bahwa "pendidikan merupakan suatu pengajaran dan pendidikan yang berguna untuk kehidupan bersama adalah memerdekakan manusia sebagai anggota persatuan rakyat."
Bagi seoang guru pendidikan tak hanya menyoal tentang buku teks, materi, perangkat ajar, rpp, silabus, atau bahkan kurikulum sekalipun. Lebih dari itu, pendidikan merupakan sebuah mega konsep tentang pembentukan kepribadian, keteladanan, proses transfer ilmu, serta bagaimana dapat menuntun generasi pembelajar menuju kemerdekaan dalam kehidupan yang sesungguhnya. Proses pembentukan karakter dan kompetensi generasi pembelajar harus sejalan dengan figur dari guru itu sendiri. Mencontoh dan dicontoh adalah istilah yang relevan saat ini. Lantas bagaimana dengan wajah pendidikan di era kolonialisme tempo dulu? Apakah moral dan adab tetap menjadi aspek utama dalam memajukan cita-cita pendidikan bagi generasi pembelajar?
Pendidikan di era Pemerintahan Belanda
Bisa dikatakan pendidikan pada zaman penjajahan Belanda merupakan salah satu pondasi berbagai sistem yang berlaku di Indonesia. Dari  sekian banyak sistem yang ditinggalkan Belanda di Indonesia, salah satu adalah pendidikan di Indonesia. Hal ini disebabkan pendidikan bisa dikatakan sebagai poin penting dalam pembangunan negara dan peningkatan kesejahteraan rakyat pada umumnya. Sistem pendidikan yang baik sedikit banyak akan meningkatkan, apalagi jika dijalankan baik dan relevan.
Perkembangan pendidikan di Indonesia menjadi lebih aktif dan progresif kala memasuki tahun 1900, yakni ketika Ratu Juliana berkuasa di kerajaan Belanda. Van Deventer yang menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda menerapkan politik etis (Etische Politiek)Â pada tahun 1899 dengan motto "de Eeresculd"Â (hutang kehormatan). Secara umum, sistem pendidikan di Indonesia pada masa kolonialisme Belanda diklasifikasikan sebagai berikut: (1) Pendidikan dasar meliputi jenis sekolah dengan pengantar Bahasa Belanda (ELS, HCS, dan HIS), sekolah dengan pengantar bahasa daerah (IS, VS, VgS), dan sekolah peralihan. (2) Pendidikan lanjutan yang meliputi pendidikan umum (MULO, HBS, AMS) dan pendidikan kejuruan. (3) Pendidikan tinggi.
Mereka yang mampu mencapa penddikan di Volkschool atau sekolah Rakyat juga cukup beruntung. Ketika Indonesia merdeka pada tahun 1945, seperti yang tercatat rapi dalam buku tulisan Haji Agus Salim (1884-1954): tentang Perang, Jihad, dan Pluralisme (2004), angka buta huruf masih 90%. Sekolah hanya bisa dinikmati 10% penduduk saja. Sedangkan lulusan HIS biasanya melanjutkan sekolah ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) yang setara dengan SMP saat ini, lalu melanjutkan ke AMS (Algemeene Middelbare School) atau setara SMA saat ini yang ditempuh selama tiga tahun.
Lulusan dari AMS kemudian dapat melanjutkan ke sekolah tinggi kedokteran yang bernama School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA) yang dikenal sebagai Sekolah Dokter Jawa di Kwitang yang kemudian berubah nama menjadi Geeneskundig Hoge School di Salemba. Kemudian ada pula sekolah-sekolah tinggi lain seperti Recht Hoge School yang kemudian menjadi cikal bakal Fakultas-Fakultas yang ada di Universitas Indonesia. Setelah itu Landbouw School di Bogor yang kemudian berubah nama menjadi Institut Pertanian Bogor (IPB), dan ada pula Technik Hoge School di bandung yang sekarang berubah nama menjadi Institut Teknologi Bandung (ITB).
Jika mengacu pada kurikulum yang diterapkan pada masa kepemimpinan pemerintahan Belanda. Pihak  pemerintahan Belanda menekankan pada misi penyebaran agama Nasrani. Meskipun demikian, pendidikan pada masa penjajahan Belanda juga mengajarkan tentang Bahasa Belanda, membaca, menulis, berhitung, dan pengetahuan umum. Bahasa pengantar yang digunakan pada masa pemerintahan Belanda adalah Bahasa Belanda. Namun, Belanda masih mengizinkan penggunaan bahasa Melayu pada beberapa jenjang pendidikan termasuk interaksi sehari-hari masyarakat Indonesia pada saat itu.Â
Di zaman penjajahan Belanda, kualitas guru memang menjadi perhatian utama bagi pemerintahan Belanda. Walaupun, upah atau gaji yang dibayarkan memang tidak sesuai harapan dari para guru yang berasal dari kelas rakyat pribumi pada saat  itu, Untuk dapat menjadi pengajar di bebeapa jenjang pendidikan pada masa penjajahan Belanda, para calon guru harus menempuh pendidikan khusus guru agar nantinya dapat menjadi guru. Upah atau gaji yang dibayarkan juga menyesuaikan dengan asal tempat mereka menempuh pendidikan untuk menjadi guru. Pengajar yang berasal dari golongan rakyat pribumi memang dikenal berkualitas namun sayang, bayara upah atau gaji justru tak layak atau bahkan masih murah. Namun, itulah tujuan utama dari pihak Belanda yang menginginkan pegawai yang berkualitas namun tetap dengan bayaran upah yang murah.