Beberapa jam yang lalu, saya sedikit tersentak kala notifikasi di gadget saya muncul secara tiba-tiba. Bukan kaget karena suara atau getarannya yang mengusik, namun tulisan artikel yang muncul. Bagaimana tidak, dalam tulisan artikel tersebut judul dari  artikel tersebut bertuliskan dengan jelas yakni sebagai berikut.
"Bocah di Tasikmalaya yang jadi korban Bullying dipaksa setubuhi kucing dan akhirnya meninggal dunia"
Tanpa pikir panjang saya mencoba menelusuri sumber artikel tersebut, dan benar saja. Diinformasikan dengan jelas bahwa korban dari peristiwa tersebut adalah anak sekolah dasar berusia 11 tahun berasal dari Tasikmalaya Jawa Barat yang meninggal dunia lantaran mengalami depresi berat dan penurunan daya tahan tubuh akibat ia tak kuat menyaksikan tayangan dirinya yang dipaksa melakukan perbuatan tak senonoh dan justru disebarkan secara luas melalui media sosial oleh teman-temannya. Melihat realita yang terjadi, tentu kita akan merasa geram dan marah mengapa peristiwa tersebut masih sering terjadi dalam dunia pendidikan. Di manakah peran serta guru dan orang tua serta seluruh pemangku kebijakan terkait untuk dapat menangani dan mencegah perilaku pembullyian tak terjadi pada siapapun di Indonesia.Â
Belum hilang ingatan pasca peristiwa tersebut terjadi, malah muncul lagi sebuah pesan singkat yang dikirim oleh rekan kerja saya kala sedang berada di sekolah. Isi pesan tersebut ternyata berisikan pesan dari pihak orang tua murid yang melaporkan kepada salah satu rekan kerja saya karena anaknya menangis saat pulang ke rumah karena dibully oleh teman-temannya di sekolah. Anaknya diejek dan dibully dengan sebutan "Anjing" oleh teman-temannya. Di situ, saya merasakan bahwa sebegitu parahnyakah kondisi pendidikan kita saat ini? Apakah benar adab dalam pendidikan tak lagi menjadi prioritas saat ini? Pernah tidak anak-anak yang ingin mendaftar sekolah justru diterima atas alasan adabnya baik, ketika di tes solat atau ibadah yang lain ia baik, perkataannya baik, dan lain sebagainya? Yang terjadi dalam kenyataan pendidikan sekarang, walau kampanye adab yang dibungkus dalam kalimat "bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa" terus digaungkan, tetap saja anak-anak yang akan diterima dalam suatu institusi pendidikan hanyalah mereka yang berprestasi akademik dan nonakademik serta mereka yang memiliki uang lebih untuk membayar biaya masuk agar diterima di sekolah pilihan.Â
Dengan hal-hal semacam itu, memang rentan jika permasalahan yang terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia. Jika kita pahami bersama, dari satu contoh masalah saja yakni bullying. Kita tentu sering melihat atau bahkan mengalami banyak hal yang menyebabkan pembullyian atau risak itu dapat dialami oleh siapapun. Misalnya, saat kita merasa terbully oleh teman main atau teman nongkrong karena badan kita gendut. Padahal, penghinaan secara verbal dengan menghina fisik seseorang akan berakibat fatal terhadap psikis seseorang yang dibully. Lalu apa sebenarnya yang menyebabkan pembullyian atau perundungan itu masih terus terjadi dalam dunia pendidikan Indonesia?
1. Masih lemahnya pengawasan dan perhatian orang tua di rumah
Kita tentu dapat berbeda dengan alasan pertama di atas, namun kita tak dapat menyangkal  jika alasan di atas merupakan salah satu sebab mengapa pembullyian masih marak terjadi dalam potret pendidikan di negara kita saat ini. Kurang perhatiannya orang tua terhadap tumbuh kembang serta pengawasan terhadap ruang lingkup (cyrcle) pergaulan anak baik di sekolah maupun di luar rumah justru dapat berakibat buruk terhadap perilaku si anak. Mereka akan mudah terpengaruh dengan perilaku negatif, mengikuti kebiasaan-kebiasaan yang buruk dari teman-temannya, merasa diri paling jagoan, dan lain sebagainya. Jika hal demikian sudah terjadi, tumbuh kembang anak akan  terganggu sehingga akan menyebabkan sifat arogan dan suka membully teman yang lemah akan muncul.
2. Acuh tak acuh terhadap pendidikan agama dan moral
Sikap apatis yang muncul dari anak terhadap pentingnya memelajari hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan agama dan moral dapat menjadi salah satu alasan timbulnya sifat suka membully. Jika kita mencoba mengintegrasikan dengan realita yang terjadi saat ini. Kebanyakan pendidikan agama cenderung kerap dinomor duakan. Mengapa demikian? Anak-anak  kerap hanya diarahkan dan serahkan urusan pendidikan agama dan moralnya  hanya kepada guru agama tanpa orang tua memberikan pemahaman sederhana terhadap rambu-rambu sederhana dalam berperilaku sehari-hari  sesuai dengan pemahaman agama. Jika hal tersebut sering terjadi, dapat dipastikan pemahaman anak dalam hal berperilaku yang baik sesuai aturan dalam agama justru tak seimbang dengan tuntutan orang tua yang menginginkan anaknya pintar dalam bermatematika, pintar dalam berpidato, pintar dalam bersastra, pintar dalam berbahasa Inggris, pintar dalam bernyanyi, berprestasi dalam olahraga dan lain sebagainya.
3. Dampak dari perkembangan dunia digital
Alasan yang ketiga nampaknya sungguh  tak dapat dikesampingkan. Hal tersebut bukan tanpa alasan, anak-anak usia sekolah saat ini memang sudah terbiasa bercengkrama dengan apa yang dinamakan gadget atau gawai. Mulai dari keperluan untuk belajar, keperluan agar dapat digunakan untuk menelepon orang tua di rumah agar dijemput saat pulang sekolah, fasilitas hiburan, bermain video game, dan aktivitas lainnya semua telah dilakukan hanya dengan menggunakan gadget atau gawai. Maka dari itu anak-anak usia sekolah yang gemar menikmati tayangan-tayangan dari ragam platform media sosial akan terbiasa menyaksikan konten-konten berbau kekerasan, vulgar, anarkis, bully, tayangan psikopat, hingga rela berlangganan paket-paket premium agar bisa menyaksikan tayangan streaming terhadap film-film yang seharusnya belum layak mereka tonton.