Mohon tunggu...
Ardi Bagus Prasetyo
Ardi Bagus Prasetyo Mohon Tunggu... Guru - Praktisi Pendidikan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Seorang Guru Muda, ASN, lulusan Universitas Mulawarman tahun 2020, Pendidikan, Biografi, sepakbola, E-sport, Teknologi, Politik, dan sejarah Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Haji Agus Salim (dari Indonesia untuk Dunia)

30 Maret 2022   08:00 Diperbarui: 30 Maret 2022   08:03 871
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Assalamualaikum Sobat Kompasiana, pada edisi literasi jejak tokoh kita akan berkenalan dengan salah seorang pelopor kemerdeakaan Indonesia dan juga seorang Pahlawan Nasional yakni Haji Agus Salim. Penasaran dengan sosoknya? Mari simak ulasan berikut ini.


Latar Belakang 

            Haji Agus Salim dilahirkan di Kota Gadang, Bukit tinggi, Sumatra Barat pada tanggal 8 Oktober 1884. Ia dikenal sebagai pejuang,jurnalis, penulis, orator, mantan Menteri Luar Negeri, dan juga diplomat ini telah banyak mendedikasikan hidupnya untuk perjuangan dan pergerakan dalam memerdekakan bangsa Indonesia. Sosok bersahaja  ini lahir dari pasangan yang ayahnya adalah seorang Jaksa Kepala di Pengadilan Tinggi Riau. Pendidikan dasar yang ditempuhnya adalah di Europeesche Lagere School (ELS), sekolah khusus bagi anak-anak Eropa, kemudian dilanjurkan ke Hoogere Burgerschool (HBS) di Batavia. Ketika lulus, ia berhasil menjadi alumnus terbaik di HBS se-Hindia Belanda.

            Salim sempat bekerja sebagai penerjemah pasca menyelesaikan pendidkannya, selain itu dia juga bekerja sebagai asisten notaris pada sebuah kongsi pertambangan di Indragiri. Pada tahun 1906, salim berangkat ke Jeddah, Arab Saudi untuk bekerja di Duta Besar Belanda di sana. Pada periode inilah salim berguru dan banyak belajar dari pamannya yakni Syeh Ahmad Khatib.

            Salim memutuskan untuk terjun dalam ranah jurnalistik pada 1915 di Harian Neraca sebagai Wakil Redaktur. Setelah itu ia diangkat sebagai Dewan Redaksi. Kemudian ia menikah dengan seorang wanita yang bernama Zaenatun Nahar dan dikaruniai 8 orang anak. Kegiatannya dalam bidang jurnalistk terus berlangsung hingga ia menjadi pemimpin Harian Hindia Baroe di Jakarta. Dalam karirnya sebagai seorang jurnalis, ia pernah mendirikan Surat Kabar Fajar Asia, menjabat sebagai Redaktur HArian Mustika di Jogja, mendirikan kantor AIPO serta pada saat bersamaan ia juga terjun ke dunia politik sebagai pemimpin Sarekat Islam.

Dedikasi Sang Pejuang Demokrasi

            Kecemerlangan beliau dalam karirnya sebagai seorang politisi, jurnalis, penulis, sampai diplomat tak perlu diragukan lagi. Ia dikenal fasih dan menguasai 7 macam bahasa asing yakni Inggris, Jerman, Prancis, Belanda, Turki, Jepang, dan Arab. Karena kefasihannya ini ia seakan telah ditakdirkan untuk menciptakan harmonisasi dan menginisiasi hubungan atau kerjasama Indonesia dengan Negara lain termasuk sebagai usaha dan upaya mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Perjuangan beliau bagi Indonesia sebagai salah seorang tokoh pergerakan nasional membuatnya mudah untuk berbaur di lingkungan tempat ia tinggal.

            Sempat mendirikan Jong Islamieten Bond pada tahun 1925, Agus salim terus menyuarakan pentingnya berjuang dan memperjuangkan demokrasi bagi bangsa Indonesia. Walaupun dikenal mahir berbahasa asing, Agus Salim tetap menunjukkan jiwa nasionalis, dan dedikasinya untuk Indonesia. Hal ini terwujud dalam Sidang Dewan Rakyat (Volksraad) di mana Agus Salim menyampaikan pidatonya di depan Pemerintahan Belanda menggunakan Bahasa Indonesia. Selain itu, ia berhasil menjadi diplomat ulung yang berjasa dalam mempersiapkan kemerdekaan Indonesia yakni dengan ditunjuknya ia menjadi anggota Panitia Sembilan yang berperan besar dalam perumusan Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yang awalnya bernama Piagam Jakarta.

Prestasi Haji Agus Salim

            Haji Agus Salim tercatat berhasil menjadi diplomat yang mampu menjadi perantara dalam hal peningkatan mutu kerjasama dan usaha untuk meyakinkan Negara-negara Arab untuk mengakui kemerdekaan Negara Indonesia pada 1947. Selain itu, ia pernah mengetuai delegasi Indonesia dalam Asian Relation Conference di India. Setelah merdeka, Agus Salim beberapa kali menduduki posisi menteri muda yaitu Menteri Muda Luar Negeri Kabinet Syahrir II pada tahun 1946 dan Kabinet III pada tahun 1947. Agus Salim juga kemudian menjadi Menteri Luar Negeri Kabinet Hatta pada 1948-1949.  Pada tahun 1952, Agus Salim menjabat sebaga ketua pertama Dewan Pers Indonesia. Pasca meninggal di tahun 1954, beliau menerima dan diberikan penghormatan serta penghargaan sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan S.K. Presiden RI No. 657/Tahun 1961.

Sosok Bersahaja dan Sederhana

            Sosok Haji Agus Salim selain dikenal sebagai pribadi dengan sikap yang jelas, dan jernih dalam pemikiran dan perilaku. Ia juga dikenal sederhana dan bersahaja dalam hidupnya. Walaupun ia dikenal sebagai salah seorang penulis, pemimpin organisasi-organisasi besar, diplomat, bahkan sempat menjadi bagian dari pejabat pemerintahan. Haji Agus Salim tetap memilih hidup dalam kesederhanaan. Hal ini terbukti saat ia sering tinggal secara berpindah-pindah dari satu kontrakan ke kontrakan lain. Ia hanya hidup menyewa rumah sederhana di Jogjakarta, Jakarta, dan Surabaya.

Sosok pejuang serta diplomat ulung benama Haji Agus Salim merupakan salah satu pionir dalam perjuangan mempersiapkan kemerdekaan juga sekaligus mempersiapkan masa depan Indonesia yang lebih baik. Keikhlasan, ketulusan, ketaqwaan, dedikasi, kesederhanaan, semangat, nasionalis, dan lain sebagainya hanyalah sebagian kecil dari apa yang ada dalam diri Haji Agus Salim. Ia tak pernah mengharapkan imbalan atau pamrih atas apa yang telah ia perjuangkan bagi bangsa Indonesia. Sosok pejuang yang tak pernah menyekolahkan anak-anaknya di Sekolah pemerintahan dan memilih untuk mendidik sendiri anak-anaknya ini telah menunjukkan jati diri dan sikap seharusnya dari seorang pemerintah yang berjuang dengan  dasar ikhlas (lillahita'ala) ia adalah simbol dari ucapan "Leiden is Lijden" bahwa  memimpin adalah menderita. 

            Semoga kita dapat terus belajar dan belajar untuk menjadi generasi yang beriman, tangguh, mendiri, serta siap bersaing menghadapi perkembangan dan kemajuan zaman.

Sekian literasi kali ini, jika ada informasi yang keliru atau kurang tepat saya mohon maaf dan mohon tinggalkan koreksinya di kolom komentar. Terima Kasih

#SalamLiterasiL

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun