Haji Agus Salim tercatat berhasil menjadi diplomat yang mampu menjadi perantara dalam hal peningkatan mutu kerjasama dan usaha untuk meyakinkan Negara-negara Arab untuk mengakui kemerdekaan Negara Indonesia pada 1947. Selain itu, ia pernah mengetuai delegasi Indonesia dalam Asian Relation Conference di India. Setelah merdeka, Agus Salim beberapa kali menduduki posisi menteri muda yaitu Menteri Muda Luar Negeri Kabinet Syahrir II pada tahun 1946 dan Kabinet III pada tahun 1947. Agus Salim juga kemudian menjadi Menteri Luar Negeri Kabinet Hatta pada 1948-1949.  Pada tahun 1952, Agus Salim menjabat sebaga ketua pertama Dewan Pers Indonesia. Pasca meninggal di tahun 1954, beliau menerima dan diberikan penghormatan serta penghargaan sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan S.K. Presiden RI No. 657/Tahun 1961.
Sosok Bersahaja dan Sederhana
      Sosok Haji Agus Salim selain dikenal sebagai pribadi dengan sikap yang jelas, dan jernih dalam pemikiran dan perilaku. Ia juga dikenal sederhana dan bersahaja dalam hidupnya. Walaupun ia dikenal sebagai salah seorang penulis, pemimpin organisasi-organisasi besar, diplomat, bahkan sempat menjadi bagian dari pejabat pemerintahan. Haji Agus Salim tetap memilih hidup dalam kesederhanaan. Hal ini terbukti saat ia sering tinggal secara berpindah-pindah dari satu kontrakan ke kontrakan lain. Ia hanya hidup menyewa rumah sederhana di Jogjakarta, Jakarta, dan Surabaya.
Sosok pejuang serta diplomat ulung benama Haji Agus Salim merupakan salah satu pionir dalam perjuangan mempersiapkan kemerdekaan juga sekaligus mempersiapkan masa depan Indonesia yang lebih baik. Keikhlasan, ketulusan, ketaqwaan, dedikasi, kesederhanaan, semangat, nasionalis, dan lain sebagainya hanyalah sebagian kecil dari apa yang ada dalam diri Haji Agus Salim. Ia tak pernah mengharapkan imbalan atau pamrih atas apa yang telah ia perjuangkan bagi bangsa Indonesia. Sosok pejuang yang tak pernah menyekolahkan anak-anaknya di Sekolah pemerintahan dan memilih untuk mendidik sendiri anak-anaknya ini telah menunjukkan jati diri dan sikap seharusnya dari seorang pemerintah yang berjuang dengan  dasar ikhlas (lillahita'ala) ia adalah simbol dari ucapan "Leiden is Lijden" bahwa  memimpin adalah menderita.Â
      Semoga kita dapat terus belajar dan belajar untuk menjadi generasi yang beriman, tangguh, mendiri, serta siap bersaing menghadapi perkembangan dan kemajuan zaman.
Sekian literasi kali ini, jika ada informasi yang keliru atau kurang tepat saya mohon maaf dan mohon tinggalkan koreksinya di kolom komentar. Terima Kasih
#SalamLiterasiL
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H