Di lingkungan SMP Negeri 4 Samarinda misalnya, penggunaan bahasa Indonesia cenderung beragam, latar belakang suku yang berbeda, pengaruh bahasa di lingkungan tempat tinggalnya, hingga pengaruh teknologi serta sosial media justru menjadi pemicu beragamnya bahasa yang digunakan dalam komunikasi sehari-hari.
Beragam latar belakang aksen suku yang terdiri dari Jawa, Banjar, Kutai, Bugis, Dayak, dan lain sebagainya menjadi sebuah pembeda dari bahasa Indonesia yang digunakan sebagai alat komunikasi sehari-hari.
Selain itu, perkembangan teknologi informasi, dan komunikasi juga sangat berpengaruh.Â
Bahasa-bahasa viral yang dikonsumsi melalui sajian-sajian di media sosial seperti facebook, instagram, youtube, twitter, tiktok dan lain-lain bebas didapatkan.
Hal ini menjadi penyebab tercampurnya bahasa Indonesia yang digunakan dengan beberapa kata viral yang diucapkan.Â
Kata viral atau dalam linguistik masuk ke dalam ragam bahasa slank, merupakan bahas ayang digunakan oleh suatu kelompok, perkumpulan, atau komunitas tertentu agar menjadi sebuah bahasa khusus yang mampu meningkatkan ragam akrab di suatu lingkungan tertentu.Â
Bahasa slang itu antara lain PHP (Pemberi Harapan Palsu), sabi (bisa), anjay (konotasi negatif dari kata anjing), baper (terbawa perasaan), selow (santai), ya gaes yak, sotoy (paling tahu), dan lain sebagainya.
Contoh dari penggunaan bahasa slang tersebut justru menjadi sesuatu hal yang tak wajar saat sebagian dari siswa dan siswi di sekolah mencampurkannya dengan bahasa Indonesia ketika berada di linglkungan sekolah.Â
Misalnya pada suatu waktu ada seorang siswa yang sering mengatakan kata anjay  ketika mata pelajaran berlangsung, kemudian kata-kata  seperti sabi ya gaes yak, gitu aja baper, menjadi suatu sajian yang cukup sering terdengar di kelas.Â
Lalu apa dampak negatif dari bahasa tersebut bagi kalangan siswa dan siswi di usia sekolah dan di situasi sedang bersekolah?