Pendidikan yang diselenggarakan di Indonesia pada dasarnya adalah untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia seutuhnya untuk kepentingan pembangunan bangsa Indonesia.Â
Sumber daya manusia yang dibutuhkan bangsa Indonesia saat ini tidak hanya unggul dalam bidang kognitif saja, tetapi juga unggul dalam keterampilan dan afektifnya.Â
Hal tersebut, sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan, keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani kepribadian yang mantap dan mandiri serta bertanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.Â
Mewujudkan tujuan pendidikan bukanlah hal yang mudah, dan tidak cukup hanya satu pihak saja yang terlibat di dalamnya, tetapi melibatkan beberapa pihak.Â
Guru, siswa, orang tua, masyarakat sekitar, pemerintah semua memegang peranan dalam upaya mewujudkan tujuan pendidikan nasional melalui kerja sama, saling mendukung dan saling melengkapi di antara pihak-pihak tersebut.Â
Guru, murid dan bahan ajar merupakan unsur dominan dalam proses pembelajaran. Ketiganya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu sama lain. Jika salah satu unsur tidak ada, maka unsur-unsur yang lain tidak bisa berhubungan secara wajar dan proses pembelajaran tidak dapat berjalan dengan baik.Â
Namun demikian, komponen yang dianggap paling mempengaruhi proses pendidikan dan paling menentukan keberhasilan pencapaian tujuan pendidikan adalah komponen guru.Â
Hal itu memang wajar, sebab guru merupakan ujung tombak yang berhubungan langsung dengan siswa sebagai subjek dan objek belajar.Â
Bagaimana pun bagus dan idealnya suatu kurikulum pendidikan, lengkapnya sarana prasarana pendidikan, namun jika tidak diimbangi dengan kemampuan guru dalam menerapkannya, maka semuanya akan kurang bermakna.Â
Oleh karena itu, profesionalisme kerja guru perlu ditingkatkan untuk mengoptimalkan peran guru dalam proses pembelajaran yang lebih baik sehingga akan menghasilkan out put yang unggul.Â
Agar proses pembelajaran lebih menarik serta bermakna bagi siswa, maka diperlukan suatu pembelajaran yang inovatif yang disajikan dalam setiap pembelajaran yang dilakukan. Selain harus disajikan dengan menarik, pembelajaran harus sesuai dengan konteks kehidupan anak.Â
Perlu diingat bahwa guru bukanlah satu-satunya aktor pendidikan yang mempunyai peranan untuk keberhasilan suatu pembelajaran, siswa memiliki potensi besar dan mampu mengembangkan dirinya untuk mencari pengetahuan dan keterampilan baru yang ada di lingkungan sekitarnya.Â
Jadi, dalam setiap pembelajaran yang dilakukan, guru hendaknya dapat mengoptimalkan kemampuan berpikir siswa. Salah satu masalah yang dihadapi dalam dunia pendidikan adalah masalah lemahnya proses pembelajaran.Â
Dalam proses pembelajaran yang sering dilakukan di sekolah, siswa kurang diajak untuk mengembangkan kemampuan berpikir. Proses pembelajaran masih terpaku pada kemampuan menghafal, mengingat informasi tanpa mengaitkannya dengan kehidupan sehari-hari.Â
Belajar bukanlah untuk menghafal kosa kata, mengerjakan latihan soal dan tugas-tugas, tetapi siswa perlu dilibatkan secara aktif untuk mengaitkan pelajaran akademis yang diterimanya dengan konteks kehidupan nyata yang dialaminya sehingga pembelajaran akan lebih bermakna.
 Menurut teori belajar Peter Sheal (dalam Atit Suryati, 2008) mengemukakan bahwa belajar yang paling bermakna hingga mencapai 90 % adalah dengan cara melakukan-mengalami dan mengkomunikasikan. Agar dapat memenuhi hal tersebut, maka pelajaran harus diangkat dari kontekstual yang dialami siswa dalam kehidupan sehari-hari.Â
Melalui pembelajaran bermakna, siswa diberi tanggung jawab untuk melaksanakan suatu proyek atau tugas yang melatih siswa untuk merencanakan, mengatur, menyusun, menyelidiki suatu topik dan menentukan kesimpulan dengan mengaitkannya dengan kehidupan mereka sehari-hari. Dengan demikian, siswa tidak hanya memperoleh pengetahuan tentang pelajaran akademis, tetapi memperoleh pengalaman atau keterampilan secara langsung yang bermanfaat untuk kehidupannya.Â
Berkaitan dengan pelaksanaan pendidikan, dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (dalam Wina Sanjaya: 2) dinyatakan bahwa "Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan negara."
Dari rumusan tentang pendidikan tersebut dapat dipahami bahwa pendidikan dilaksanakan secara sadar dan terencana, tidak asal-asalan sehingga dapat mencapai tujuan pembelajaran yang diinginkan tidak hanya pada hasil tetapi proses pembelajaran.Â
Pembelajaran yang dilakukan di sekolah harus berupaya mengembangkan potensi anak didiknya sampai yang terakhir yaitu anak memiliki kemampuan spiritual keagamaaan, kecerdasan, keterampilan yang diperlukan bagi dirinya, bangsa dan negara. Untuk mewujudkan semua itu, tentunya tidak terlepas dari bahasa baik dalam pengajarannya maupun penerapannya. Bahasa sebagai sarana utama seorang manusia untuk berkomunikasi dengan manusia lain.Â
Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan sangatlah penting untuk dipelajari mulai dari sekolah dasar. Berbagai keterampilan yang ada dalam bahasa Indonesia seperti mendengarkan, berbicara, membaca dan menulis perlu diajarkan sejak dini. Saat ini, banyak pemakai bahasa nasional yang belum mempergunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, sesuai dengan konteks pemakaiannya.Â
Oleh karena itu, pengajaran bahasa Indonesia sangat perlu untuk ditingkatkan. Pada pembelajaran bahasa Indonesia khususnya untuk aspek menulis, banyak anak yang hafal bagaimana cara menulis suatu karangan, tetapi ketika harus menulis ia bingung harus memulai dari mana dan sebagainya.Â
Siswa kesulitan merangkai kosa kata menjadi sebuah kalimat yang baik dan benar. Siswa merasa kesulitan untuk mengungkapkan pikirannya tentang suatu topik ke dalam suatu karangan.Â
Sebagian besar siswa, hanya memperoleh beberapa baris apabila guru menugaskan menulis karangan. Hal itu menyebabkan siswa tersebut memperoleh nilai cukup atau bahkan kurang dalam tugas menulis karangan sederhana di kelas III pada periode-periode sebelumnya.Â
Dari berbagai hal yang telah diutarakan di atas, peneliti akan menggunakan pendekatan kontekstual sebagai upaya untuk membangkitkan gairah belajar siswa, sehingga siswa dapat belajar untuk memperoleh pengetahuan dan mengaitkannya dengan kehidupan nyata di lingkungannya.Â
Pendekatan kontekstual menurut Nurhadi (Sugiyanto: 18) adalah "konsep belajar yang mendorong guru untuk menghubungkan antara materi yang diajarkan dan situasi dunia nyata siswa. Jadi, pendekatan kontekstual di sini adalah pembelajaran yang holistik yang bertujuan mengaitkan informasi yang diterima terhadap konteks kehidupan sehari-hari sehingga siswa akan memiliki pengetahuan dan keterampilan yang bersifat dinamis dan fleksibel untuk mengkonstruksi pemahamannya sendiri."Â
Pendekatan kontekstual dipilih oleh peneliti, karena peneliti menilai pendekatan kontekstual dapat dijadikan suatu pendekatan pembelajaran yang menyenangkan dapat menarik minat belajar siswa sehingga siswa dapat mengikuti pelajaran dengan baik dan perolehan belajar akan lebih bermakna.Â
Hal itu didukung dengan pernyataan Jonshon (Sugiyanto: 18) yang mengungkapkan bahwa pendekatan kontekstual bertujuan menolong para siswa melihat makna di dalam materi akademik yang mereka pelajari dengan cara menghubungkan subjek-subjek akademik dengan konteks dalam kehidupan keseharian mereka, yaitu dengan konteks keadaan pribadi, sosial, dan budaya mereka.Â
Pendekatan kontekstual dalam hal ini adalah guru membelajarkan siswa dengan memandang siswa sebagai subjek belajar, yaitu dengan cara guru memulai pembelajaran yang dimulai atau dikaitkan dengan dunia nyata yaitu diawali dengan bercerita atau tanya-jawab lisan tentang kondisi aktual dalam kehidupan siswa, kemudian diarahkan melalui permodelan agar siswa termotivasi, questioning agar siswa berpikir, constructism agar siswa membangun pengertian, inquiry agar siswa bisa menemukan konsep dengan bimbingan guru, masyarakat belajar agar siswa bisa berbagi pengetahuan dan pengalaman serta terbiasa berkolaborasi, refleksi agar siswa bisa mereviu kembali pengalaman belajarnya, serta penilaian yang sebenarnya agar penilaian yang diberikan menjadi sangat objektif.Â
Prinsip Dasar Setiap Pembelajaran Kontekstual Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual melibatkan tujuh komponen utama, yaitu (Masnur Muslich, 2007: 44): 1) Contructivism (kontruktivisme, membangun, membentuk) Kontruktivisme merupakan landasan filosofis (berpikir) pendekatan CTL. Pembelajaran yang berciri konstruktivisme menekankan terbangunnya pemahaman sendiri secara aktif, kreatif, dan produktif berdasarkan pengetahuan dan pengetahan terdahulu dan dari pengalaman belajar yang bermakna.Â
Prinsip dasar kontruktivisme dalam praktik pembelajaran yang harus dipegang oleh guru adalah sebagai berikut: (a) proses pembelajaran harus lebih utama dari hasil pembelajar, (b) informasi bermakna dan relevan dengan kehidupan nyata siswa lebih penting daripada informasi verbalistis, (c) siswa mendapatkan kesempatan seluas-luasnya untuk menemukan dan meneapkan idenya sendiri, (d) siswa diberikan kebebasan untuk menerapkan strateginya sendiri dalam belajar, (e) pengetahuan siswa tumbuh dan berkembang melalui pengalaman sendiri, (f) pengalaman siswa akan berkembang semakin dalam dan semakin kuat apabila diuji dengan pengalaman baru, (g) pengalaman siswa dibangun secara asimilasi (yaitu pengetahuan dibangun dari struktur pengetahuan yang sudah ada) maupun akomodasi (yaitu struktur pengetahuan yang sudah ada dimodifikasi untuk menampung/menyesuaikan hadirnya pengalaman baru).Â
2) Questioning (bertanya) Komponen bertanya (questioning) merupakan strategi pembelajaran CTL, yang memandang bahwa pembelajaran CTL merupakan suatu upaya guru yang bisa mendorong siswa untuk memperoleh informasi, sekaligus mengetahui perkembangan kemampuan berpikir siswa.Â
Pada sisi lain, kenyataan menunjukan bahwa pemerolehan pengetahuan seseorang selalu bermula dari bertanya. Prinsip yang perlu diperhatikan guru dalam pembelajaran berkaitan dengan komponen bertanya diantaranya: (a) penggalian informasi lebih efektif apabila dilakukan melaui bertanya, (b) konfirmasi terhadap apa yang sudah diketahui lebih efektif melalui tanya jawab, (c) dalam rangka penambahan atau pemantapan pemahaman lebih efektif dilakukan lewat diskusi, (d) bagi guru, bertanya pada siswa mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa, (e) dalam pembelajaran yang produktif, kegiatan bertanya berguna untuk: menggali informasi, mengecek pemahaman siswa, membangkitkan respon siswa, mengetahui kadar keingintahuan siswa, mengetahui hal-hal yang diketahui siswa, memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru, membangkitkan lebih banyak pertanyaan bagi diri siswa, dan menyegarkan pengetahuan siswa. 3) Inquiry (menyelidiki, menemukan) Komponen menemukan (inquiry) merupakan kegiatan inti CTL.Â
Kegiatan ini diawali dari pengamatan terhadap fenomena dilanjutkan dengan kegiatan-kegiatan bermakna untuk menghasilkan temuan yang diperoleh sendiri oleh siswa. Dengan demikian pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa tidak dari hasil mengingat fakta , tetapi hasil menemmukan sendiri dari fakta yang dihadapinya.Â
Prinsip yang bisa dipegang guru ketika menerapkan komponen inquiry dalam pembelajaran adalah: (a) pengetahuan dan keterampilan akan lebih lama diingat apabila siswa menemukan sendiri, (b) informasi yang diperoleh siswa akan lebih mantap apabila diikuti dengan bukti-bukti atau data yang ditemukan sendiri oleh siswa, (c) siklus inquiry adalah observasi (observation), bertanya (questioning), mengajukan dugaan (hipotesis), pengumpulan data (data gathering), dan penyimpulan (conclusion), (d) langkah kegiatan inquiry adalah merumuskan masalah, mengamati dan melakukan observasi, menganalisis dan menyajikan hasil, mengkomunikasikan atau menyajikan. 4) Learning community (masyarakat belajar) Konsep Masyarakat belajar (learning community) menyarankan bahwa hasil belajar sebaiknya diperoleh dari kerjasama dengan orang lain.Â
Hal ini berarti bahwa hasil belajar bisa diperoleh dari sharring antar teman, antar kelompok, dan dan antara yang tahu kepada yang tidak tahu, baik didalam maupun diluar kelas. Prinsip yang bisa diperhatikan guru ketika menerapkan pembelajaran yang berkonsentrasi pada komponen learning community antara lain: (a) pada dasarnya hasil belajar diperoleh dari kerjasama atau sharing dengan pihak lain, (b) sharing terjadi apabila ada pihak yang saling member dan saling menerima informasi, (c) sharing terjadi ada komunikasi dua atau multiarah, (d) masyarakat belajar terjadi apabila masing-masing pihak yang didalamnya sadar akan pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan yang dimilikinya bermanfaat bagi yang lain, (e) yang terlibat dalam masyarakat belajar pada dasarnya bisa menjadi sumber belajar. 5) Modeling (Pemodelan) Komponen Pemodelan (modeling) menyatakan bahwa pembelajaran keterampilan dan pengetahuan tertentu diikuti dengan model yang bisa ditiru siswa. Model yang dimaksud bisa berupa pemberian contoh tentang, misalnya cara mengoperasikan sesuatu, menunjukan hasil karya, mempertontonkan suatu penampilan. Cara pembelajaran seperti ini akan lebih cepat dipahami siswa daripada hanya bercerita atau memberikan penjelasa pada siswa tanpa ditunjukan modelnya atau contohnya.Â
Prinsip yang bisa diperhatikan guru ketika melaksanakan pembelajaran adalah sebagai berikut: (a) pengetahuan atau keterampilan diperoleh dengan mantap apabila ada model atau contoh yang bisa ditiru, (b) model atau contoh bisa diperoleh langsung dari yang kompeten atau dari ahliya, (c) model atau contoh bisa berupa cara mengoperasikan sesuatu, contoh hasil karya, atau model penampilan. 6) Reflection (Refleksi atau Umpan Balik) Refleksi (reflection) merupakan bagian terpenting pada pembelajaran dengan pendekatan CTL.Â
Dengan memikirkan kembali apa yang baru dipelajari, menelaah dan merespon semua kejadian, aktivitas, atau pengalaman yang terjadi dalam pembelajaran, bahwa memberikan masukan atau saran jika diperlukan, siswa akan menyadari bahwa pengetahuan yang diperolehnya merupakan pengayaan bahkan revisi dari pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Kesadaran seperti ini penting ditamanmkan kepada siswa agar ia bersikap terbuka terhadap pengetahuan-pengetahuan baru.Â
Prinsip yang perlu diperhatikan oleh guru dalam rangka penerapan komponen refleksi adalah sebagai berikut: (a) perenungan atas sesuatu pengetahuan yang baru diperoleh merupakan pengayaan atau pengetahuan sebelumnya, (b) perenungan merupakan respon atau kejadian aktivitas, atau pengetahuan yang telah diperolehnya, (c) perenungan bisa berupa menyampaikan penilaian atas pengetahuan yang baru diterima, membuat catatan singkat, diskusi dengan teman sejawat, atas unjuk kerja. 7) Authentic Assessment Penilaian autentik (authentic assessment) merupakan ciri khusus dari pendekatan kontekstual dimana proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran atau informasi tentang perkembangan pengalaman belajar siswa. Gambaran pengalaman siswa ini perlu diketahui guru setiap saat agar bisa memastikan benar tidaknya proses belajar siswa. Dengan demikian penilaian autentik diarahkan pada proses mengamati, menganalisis dan menafsirkan data yang telah terkumpul ketika atau dalam proses pembelajaran siswa berlangsung, bukan semata-mata pada hasil pembelajaran.Â
Prinsip dasar yang menjadi perhatian guru ketika menerapkan konponen penilaian autentik adalah sebagai berikut: (a) penilaian autentik bukan menghakimi siswa tetapi untuk mengetahui perkembangan belajar siswa, (b) penilaian dilakukan secara komprehensif dan seimbang antara proses dan hasil, (c) guru menjadi penilai yang konstruktif (constructive evaluators) yang dapat merefleksi bagaimana siswa belajar, bagaimana siswa menghubungkan apa yang mereka ketahui dengan berbagai konteks belajar, (d) penilaian autentik memberikan kesempatan siswa untuk dapat mengembangkan penilaian diri (self assessment) dan penilaian sesame (peer assessment), (e) penilaian autentik mengukur keterampilan dan performansi dengan kriteria yang jelas (performance-based), (f) penilaian autentik dilakukan dengan berbagai alat secara berkesinambungan sebagai bagian integral dari proses pembelajaran, (g) penilaian autentik dapat dimanfaatkan oleh siswa, orangtua dan sekolah untuk mendiagnosis kesulitan belajar, umpan balik pembelajaran, dan/atau untuk menentukan prestasi siswa. Bertolak dari prinsip-prinsip dasar komponen pendekatan CTL, dapat diambil kata-kata kunci (keyword) yang dapat dipakai sebagai pengingat guru ketika melaksanakan kegiatan pembelajaran berbasis CTL adalah sebagai berikut: (1) belajar pada hakekatya real-word learning, yaitu belajar dari kenyataan yang bisa diamati, dipraktikan, dirasakan dan diuji coba, (2) belajar adalah mengutamakan pengalaman nyata, bukan hanya pengalaman yang diangan-angan saja, yang tidak bisa dibuktikan secara empiris, (3) belajar adalah berpikir tingkat tinggi, yaitu berpikir kritis yang mengedepankan siklus inquiry dari mengamati, bertanya dan mengajukan dugaan sementara (hipotesis), mengumpulkan data, menganalisis data, sampai dengan merumuskan kesimpulan atau teori, (4) kegiatan pembelajaran berpusat pada siswa, yaitu pemebelajaran yang memberikan kondisi yang memungkinkan siswa melakukan serangkaian kegiatan secara maksimal, (5) kegiatan pembelajaran memberikan kesempatan siswa untuk aktif, kritis dan kreatif, (6) kegiatan pembelajaran menghasilkan pengetahuan bermakna dalam kehidupan siswa, (7) kegiatan pembelajaran harus dekat dengan kehidupan nyata, (8) kegiatan pembelajaran harus bisa menunjukan perubahan perilaku siswa sesuai dengan yang diharapkan, (9) kegiatan pembelajaran diarahkan pada siswa praktik bukan menghafal, (10) pembelajaran bisa menciptanakan siswa belajar (learning) bukan guru mengajar (teaching), (11) sasaran pembelajaran adalah pendidikan (education) bukan pengajaran (instruction), (12) pembelajaran diarahkan pada pembentukan perilaku manusia yang berbudaya, (13) strategi pembelajaran diarahkan pada pemecahan masalah sehingga siswa lebih berpikir kritis, (14) situasi pembelajaran dikondisikan agar siswa lebih banyak bertindak (acting), sedangkan guru hanya mengarahkan, (15) hasil belajar diukur dengan berbagai cara, bukan hanya dengan tes saja
Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Pendekatan Kontekstual Alternative Pembelajaran masa Kini", Klik untuk baca:
https://www.kompasiana.com/bang_sarw/5500a098a33311ef6f511b34/pendekatan-kontekstual-alternative-pembelajaran-masa-kini
Kreator: Musafir Pandhawa
Kompasiana adalah platform blog, setiap konten menjadi tanggungjawab kreator.
Tulis opini Anda seputar isu terkini di Kompasiana.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H