Saat ini kita mungkin sering menerima "pesan" di media Chatting seperti WA atau mesengger, bahkan pada Facebook dan Twitter yang dikemas dalam bentuk "Berita-berita Negatif" tentang sosok Calon Presiden (Capres). Isinya sangat melecehkan  SARA dan "membunuh" pesona karakter (terutama) Capres Jokowi dan Prabowo. Pertanyaannya, mampukah berita-berita negatif itu, atau yang disebut juga Kampanye Hitam,  membunuh kedua Capres yang sedang berlomba menuju RI 1 2019-2024itu?
Melihat sejarahnya upaya untuk merusak atau mempertanyakan reputasi seseorang, dengan mengeluarkan propaganda negatif tersebut terus terjadi dan berulang disetiap Pemilihan Presiden (Pilpres).
Pada tahun 1999, Megawati Soekarnoputri terkena "serangan mematikan". Ketika Megawati Soekarnoputri diunggulkan akan menjadi Presiden karena partai yang dia pimpin, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI P) memenangi pemilu legislatif. Muncul pendapat bahwa perempuan tidak boleh menjadi Presiden yang disertai fatwa haram bagi warga Muslim untuk dipimpin Perempuan (Presiden).
Tetapi pada akhirnya, kampanye hitam itu tidak membuahkan hasil yang diharapkan. Megawati yang pada tahun 1999 gagal jadi Presiden karena diharamkan, akhirnya pada tahun 2001 mendapatkan kembali haknya. Dan para "penentangnya" dengan lancar menyebut " Yang Terhormat Presiden RI, Ibu Megawati Soekarno Putri!".
Pada tahun 2004 ketika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sangat "mempesona" masyarakat kita, tiba-tiba tersebar berita bahwa SBY itu Presiden pesanan Amerika. Bahkan juga muncul berita-berita bahwa mayoritas wakil rakyat terpilih dari Partai Demokrat ternyata bukanlah Muslim. Tidak berhenti disitu, SBY juga dicurigai ikut terlibat kerusuhan 27 Juli 1996 karena waktu itu dia menjabat sebagai Ka Staf Kodam Jaya.
Begitu juga dengan SBY, walaupun Partai Demokrat tidak menjadi pemenang Pemilu 2004 toh dia terpilih menjadi Presiden RI bahkan dua periode dan hampir semua Parpol yang menjadi lawannya di Pilpres bergabung dalam koalisi yang dipimpinnya.
Pada Pemilu 2014 dan 2019 ini kedua Capres, Joko Widodo dan Prabowo Subianto tidak luput dari serangan kampanye hitam dan memasuki wilayah religius yaitu hubungan personal seseorang dengan Tuhan. Tuduhan dan tudingan terhadao kedua Capres itu telah melampaui urusan manusia.
Bahkan seringkali kita temui berita-berita yang berisi pelecehan dan penghinaan terhadap keduanya. Seakan-akan yang membuat itu sangat hebat, lebih mulia dari kedua Capres itu.
Kampanye negatif yang berisi berita-berita negatif yang sepertinya sebuah pengungkapan fakta yang benar, padahal itu adalah penyelewengan fakta secara implisit sehingga jadi kabur dan merugikan pihak lain. Kalau orang tidak teliti dan malas menganalisa mungkin akan terseret ke dalam arahan berita itu.
Berita-berita tersebut umumnya disebar secara tertutup melalui sosial media chatting dan kalaupun terbuka berlindung dibalik Akun Palsu karena kebenaran materinya memang sulit untuk dipertanggungjawabkan apabila ada tuntutan secara hukum.
Melihat dan membaca kampanye negatif atau fitnah-fitnah politik yang beredar, kita memang pantas berkesimpulan bahwa fitnah itu memang lebih kejam dari pembunuhan. Apalagi dengan perkembangan sosial media saat ini, kampanye hitam itu menyebar dari tangan ke tangan yang dengan satu status di dinding FB bisa dibaca ratusan atau ribuan orang, atau dengan sekali broadcast melalui WA yang dibumbui dengan catatan "sebarkan!", atau melalui kicauan di timeline twitter. Tidak perlu meminta persetujuan orang lain untuk setuju membaca atau menerima pesan berantai tersebut.