Jargon bahwa manusia adalah animal rasionale (Mahluk yang berakal) ternyata memiliki bias yang sangat besar terhadap binatang, tumbuhan dan benda lain. Defenisi ini dengan tegas memberikan pembedaan yang jelas antara manusia dan yang lain. Pembedaan berarti kita bukan mereka dan mereka bukan kita. Ketika ada yang seperti kita pun, itu bukan kita. Dengan kata lain, pembedaan ini membangun sebuah pemisahan. Binatang, tumbuhan dan benda lain tidak punya akal dan mereka (kalau boleh saya wakilkan dengan kata mereka) berada lebih rendah dari manusia. Singkatnya, inilah sebuah arogansi salah satu kelompok kecil dari penghuni bumi ini.
Pemberian predikat tersebut secara nyata membuat manusia secara sah untuk melakukan apa saja demi kelangsungan hidupnya. Manusia membangun segala bentuk argumen bahwa manusia punya hak kuasa atas mereka. Hal ini terbukti bagaimana bangunan filsafat modern yang menempatkan manusia ibarat dewa atas yang lain. Rene Descartes dengan kalimat masterpiecenya "Cogito Ergo Sum" (saya berpikir, maka saya ada) seakan-akan menjadi ayat suci bagi para filsuf dari zaman dia hingga sekarang. Kalimat ini bagaikan tempat yang sangat tinggi yang menjadikan manusia tidak bisa lagi dijangkau oleh yang lain itu. Karena, dengan ayat suci itu, yang ada hanyalah manusia. Yang lain itu tidak ada. Predikat baru yang secara langsung tertempel pada yang lain ini menjadikan derajat mereka semakin rendah di bumi ini. Bumi pun termasuk di dalamnya.
Persoalan ini secara sekilas tidak memberikan dampak yang besar. Munkin saja kita berpikir bahwa itu hanyalah otak-otik kata yang tidak berimbas. Atau, mungkin aja berimbas. Paling tidak muncul beberapa buku tentang itu. Akan tetapi, bila kita melihat lebih dalam, inilah yang membuat mengapa hutan di Kalimantan saat ini berada di ambang kemusnahan. Inilah yang membuat, mengapa gunung emas yang di Papua saat ini telah berobah menjadi lobang besar. Itulah yang membuat mengapa kita tidak lagi memiliki relasi afektif dengan alam seperti yang dimiliki oleh para leluhur kita. Manusia modern menjadi kan bumi sebagai benda yang harus memuaskan nafsu manusia.
--------
Pernahkah kita berpikir, mengapa nama-nama binatang sering menjadi kata-kata makian yang terasa sangat kasar? Sejauh yang saya tahu, hampir di dalam banyak bahasa, hal itu terjadi. Sebut saja beberapa seperti: asu, anjing, buaya darat, lintah darat, monyet dan binatang. Kalau dianalisa mengapa manusia meneriakkan itu kepada sesuatu yang dibencinya, itu berarti binatang itu memiliki nilai negatif. Dari analisis kecil ini, dapat dikatakan bahwa dalam keseharian pun manusia telah menjadikan binatang sebagai sesuatu yang rendah derajatnya.
Pemikiran sederhana di atas memberikan sedikit gambaran bagaimana manusia membangun relasi dengan yang lain itu. Dan bahkan, cara manusia berelasi yang demikian sudah dilakukan secara spontan. Seseorang ketika marah tidak lagi berpikir nama binatang apa yang lebih tepat untuk memaki orang. Munkin saja ini akan terlihat lucu ketika melihat orang marah tiba-tiba diam sejenak untuk memilih nama binatang. Dan itu tidak terjadi karena sudah secara spontan. Meminjam istilah psikologi, mungkin itu sudah tertanam dalam alam bawah sadarnya sehingga muncul begitu saja ketika marah. Dengan kata lain, relasi negatif yang dibangun manusia dengan yang lain itu sudah menjadi bagian dari manusia itu.
Selain kisah makian, ada juga kisah lain yang mungkin lebih buruk. Setiap kita pasti sepakat bahwa yang namanya tempat sampah itu selalu dekat dengan kata kotor, rendah dan bahkan jorok. Karena jorok, 'status'nya pun rendah. Berkaitan dengan sampah, banyak manusia saat ini masih melihat bahwa bumi adalah tempat sampah yang luas. Membuang sampah sesuka hati dimana saja belum menjadi persoalan. Secara tidak sadar, dia tidak sadar bahwa caranya membuang sampah adalah cara dia berelasi dengan bumi. Sekali lagi, manusia melalui sampa menunjukkan arogansinya (kesombongannya) yang sangat besar atas yang lain.
---------
Hingga titik ini, manusia masih menganggap dan memahami alam seperti itu. Man is a Master. Manusia adalah tuan atas dunia. Lebih lagi ketika agama ikut-ikutan menegaskan yang sama. Kuasalailah bumi. Tidak ada lagi harapan bagi yang lain. Tidak ada lagi ruang bagi binatang karena hutan sudah ditebangi, karena gunung sudah dijadikan sebagai lembah yang dalam demi emas, karena laut, danau, sungai dan hujan sudah dicemari. Tak ada lagi kedamaian bagi semut ketika mereka tidak lagi bisa saling menyapa ketika mereka berpapasan ria. Tak ada lagi ruang bagi yang lain. Bahkan, dalih memelihara binatang dengan membangun kebun binatang menjadi alat untuk menyiksa binatang seperti yang terjadi di Kebun Binatang Surabaya.
Manusia, dengan predikat rasionale-nya, malah menjadi tidak berakal. Manusia tidak sadar bahwa alam (binatang, tumbuhan dan alam) ini adalah guru kebijaksanaan yang mengajari manusia soal persahabatan, cinta, damai dan pengorbanan. Manusia tidak lagi sadar bahwa bumi ini adalah ibu yang memberikan dia makan secukupnya. Manusia tidak lagi sadar bahwa tanpa dunia ini, manusia tidak ada. Manusia tidak sadar bahwa dia telah diatur oleh yang lain.
Memang alam tidak bisa berbicara, tetapi mereka memiliki bahasa mereka sendiri. Mereka dapat mengajari anaknya untuk bertahan hidup, bergaul dan berjuang. Bahkan, mereka kadang lebih manusiawi daripada manusia. Mereka tidak saling membunuh oleh karena emas, berlian, uang, minyak yang selama ini dijadikan manusia untuk saling membunuh. Induk ayam yang akan selalu berkotek mencari anaknya yang hilang, sementara banyak ibu yang telah membuang anaknya ke tempat sampah bahkan juga membunuh anaknya sebelum menatap dunia.
Bagaimanakah kiranya kita berelasi dengan yang lain? Masih adakah kesempatan untuk bertanya pada rumput yang bergoyang?
Subandri Simbolon
Sebuah permenungan ketika aku memandang semut di atas lantai.
Jumat, 11012014 Â Â 02.03
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H