Mohon tunggu...
Subandri Simbolon
Subandri Simbolon Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Pribadi peziarah dalam dunia yang penuh Misteri. Sedang menempuh Studi di Sekolah Pascasarjana UGM. Center for Religious and Cultural-Studies

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Agama: Keseimbangan antara Ajaran dan Praktek keagamaan

21 Januari 2014   02:14 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:38 706
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Pemikiran William James tentang pengalaman dalam agama memberikan kontribusi besar bagi studi agama namun gagal dalam menjelaskan dan membedakan antara pengalaman spiritual dan psikologis. Menurut James, agama itu hanya dapat memiliki arti sejauh manusia mengalaminya dalam pengalaman pribadi. Pemikiran ini memberikan masukan yang besar dalam studi agama, apalagi ketika para scholars terlalu menyibukkan diri dengan konsep dan perdebatan tentang agama itu sendiri. James berhasil membawa agama tidak lagi hanya dalam taraf teori tetapi dalam pengalaman pribadi dari orang religious itu sendiri. Selain itu, agama menjadi sangat konkrit bagi hidup manusia itu sendiri. Namun, pertanyaan yang penting bagi James adalah, apakah semua pengalaman manusia itu dapat dikatakan sebagai pengalaman spiritual? Bagaimana menjelaskan munculnya berbagai macam fenomena di masyarakat yang berkaitan dengan pengalaman mistis seperti fenomena Batu ajaib Ponary? Apakah ini dapat dikatakan sebagai pengalaman religious?

William James adalah seorang psikolog pragmatis yang melihat fenomena agama dari segi manfaatnya bagi manusia. Dengan kata lain, agama itu penting sejauh agama itu masih bermanfaat bagi manusia. James argued “religion, therefore, as I now as you arbitrarily to take it, shall mean for us the feelings, act and self experience of human in their solitude, as long they understand their self when facing with something divine” (p. 175). Agama bukan soal ritus atau upacara keagamaan yang tidak dapat mengantar orang ke pengalaman pribadi mereka. James dengan tegas menolak bila agama hanya dibatasi pada institusional yang tidak bisa dialami sendiri oleh para pengikutnya.

Pemikiran James ini dapat membantu untuk mengerti relasi personal manusia dalam agama. Bagi dia, tolak ukur orang beragama adalah pengalaman pribadi itu sendiri. Seorang religious harus mampu menginternalisasikan agamanya dalam kehidupannya sehari-hari. Dengan kata lain, agama itu menjadi sangat personal. Urusan agama menjadi sesuatu yang private, urusan pribadi dan subjective. Hal ini menegaskan bahwa berbicara soal agama berarti berbicara soal sejauh mana manusia memiliki pengalaman pribadi dengan yang suci sehingga dia menjadi suci.

Selain itu, pemikiran James ini juga membuka ruang bagi agama-agama tradisional. Buddhism adalah agama atheistic. Tetapi mereka dapat mengamali pengalaman pribadi dengan yang Absolute Being. Dengan kata lain, pemikiran ini juga membantu kita untuk menegaskan dan menerima keberadaan dari agama-agama non-abrahamic. Berkaitan dengan kaitan antara Buddhism dengan supernatural being, James argued “Buddhism, of course, and Christianity arethe best known to us of these. They are essentiallyreligions of deliverance: the man must die to an unreallife before he can be born into the real life.(p.164).

Akan tetapi, di samping banyaknya kontribusi dari pemikiran ini, ada beberapa pertanyaan yang pantas diajukan kepada James. Apakah semua pengalaman manusia itu dapat dikatakan sebagai pengalaman spiritual? Bagaimana menjelaskan munculnya berbagai macam fenomena di masyarakat yang berkaitan dengan pengalaman mistis seperti fenomena Batu ajaib Ponary? Apakah ini dapat dikatakan sebagai pengalaman religious?

Manusia adalah mahluk yang multi dimensi. Manusia itu sangat kompleks. Realitas ini lebih jelas lagi bila dilihat dari sudut pandang pengalaman manusia itu sendiri. Kalau James mengatakan bahwa agama itu berguna sejauh bermanfaat bagi manusia, apakah demikian halnya dengan Tuhan? Berbicara soal agama berarti berbicara soal relasi manusia dengan Tuhan. Bagaimana seandainya manusia tidak merasakan kegunaan agama dalam hidupnya. Terutama pada zaman sekarang ini dimana agama dipandang sebagai sumber konflik. Apakah agama masih diperlukan?

Salah satu fenomena yang berkaitan dengan pengalaman magis ini adalah batu ajaib Ponari. Menurut anak kecil ini, “batu ajaib itu ditunggu dua makhluk gaib, laki-laki dan perempuan bernama Rono dan Rani. Dua makhluk gaib itulah yang selama ini  memberikan amanat kepada Ponari untuk menolong orang sakit melalui batu yang ditemukan pertengahan Januari” (diakses,http://www.indospiritual.com/). Bagaimana menerangkan ini sebagai pengalaman religious? Apakah ini benar sebagai suatu pengalaman misti?

Pemikiran James tentang agama memberikan kontribusi besar dan menjadi satu kritikan bagi scholars. Akan tetapi, James lupa bahwa agama itu mengandung ajaran dan juga praktek-praktek religious. Dengan demikian, agama menjadi sesuatu yang berkaitan langsung dengan manusia. Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa bila suatu kelompok terlalu menekankan ajaran dalam agama, itu tidak bijak. Demikian juga sebaliknya dengan praktek agama. Jalan yang lebih bijaksana adalah menyeimbangkan antara ajaran dan praktek agama dalam kehidupan beragama itu sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun