Lima tahun berlalu, aku SMA. Saban bulan aku membeli magazine pop foto terbitan Holland. Itu menjadi salah satu yang aku suka di dunia, berjalan di pasar baru dan membeli majalah muziek itu.
Di dunia indah itu aku melihatmu lagi. Di pedestrian yang penuh pesona aku menyelinap ke dalam toko sepatu.
Hai!
Kamu?
Kabarmu?
Oke! Dia duduk merunduk fokus mengepas sepatu basket.
Warrior?
Ya! Ah, kamu memakainya pula! Mata indahnya menelusur kasut kakiku yang bersepatu basket warrior hitam. Aku mengangguk.
Aku akan membeli yang putih! Terangnya. Dia berdiri dan mundar mandir memantaskan sepatu warior .
Apakah kamu bermain basket? Aku bertanya.
Aku bermain di klub basket! Jawabnya.
Kamu?
Aku tim basket kelas! Â Apakah aku bisa ikut klub? Pintaku.
Boleh! Maaf! Lalu dia beranjak menuju bapak/ibunya meletakkan pandanganku yang menggantung di parasnya yang menawan.
Sabtu esoknya aku sudah masuk klub basket. Dia di klub putri dan aku di putra.
Saat break dia datang mendekati. Basket kamu hebat! Pujinya.
Ah tidak! Aku hanya menyukainya saja! Kataku.
Oh, itu sebabnya kamu bergabung!
Eh, tidak juga. Aku bergabung kerna ada kamu!
Wajah cantiknya senyum, matanya bergerak seperti mengingat silam.
Bukankah jawaban itu masih serupa pada saat pramuka dahulu? Katanya.
Ya! Jawabku perlahan.
Tapi aku belum bisa! Katanya meletakkan saya sendiri di bawah ring basket, dia berjalan menjauh.
Dan benar, Sabtu berikutnya aku tak menjumpai lagi dia di klub. Aku dj vu lagi.
Kira-kira delapan tahun kemudian aku S2 dan bekerja di perusahaan kota mentereng. Aku masih saja jomblo seperti air mengalir.
Dan aku kembali bertemu dia, gadis sejarah itu. Di sore yang bergaris mendung. Dia berdiri di depan toko-toko bunga. Tubuhnya sedikit kurus terbungkus gaun hitam pekat yang modis.