Kita pernah bertemu di pinggir pikiran, saat itu isi kepala kita berdekatan, di tengah keriuhan hitam putih zebra cross.Â
Barangkali kamu tidak merasa, tapi saya merona belingsatan, di tengah orang-orang berlawanan menapak waktu sela mobil-mobil tanpa ukuran melintasi penyeberangan jalan.
Hai, Nona genggamlah lenganku! Seorang lelaki cepat meraih kamu yang nyaris terjatuh.
Sedang saya yang berjarak lebih rekat tidak bikin apa-apa, hanya pikiran saya saja seakan saya yang menolongnya.
Kamu oke?
Ah, oke! Kamu baik! Sambutnya.
Saya yang berdiri dekat tidak berpandang apalagi berkata. Harusnya....
Sudut mata saya saja mengambil parasnya, cuman segitu. Itu juga deg-degan.
Tiba di rumah, saya memarahi diri, kenapa tidak berani mengambil momen perempuan itu. Saya hanya stalking, yang menciptakan  banyak dimensi tentang wanita itu di kepala saya.
Tapi nggak apa, saya cukup puas mengenalnya dalam hayalan, dan kamu akan tetap teman halusinasi saya. Hati saya membela.
Keesokan pagi berjalan biasa seperti kemarin yang tersimpan.Â
Saya menanti di kotak bus trans, abai akan bus tujuan meski berkali berlalu. Saya menanti kamu, perempuan di kepala saya.
Dan tak lama dia mendarat turun dari feeder, lalu kami bersamaan mengambil kode bus sama. Kamu duduk di depan dan saya berdiri di belakang, seperti layaknya.
Saya akan menghantarmu sampai blok kantormu, agar tidak kurang satu apa, juga guna meyakinkan kamu bahwa masih ada cinta yang teramat halus untuk hati kamu.
Sehabis pasti, saya memutar haluan kerna kerja saya berlawanan mata angin, tegap dan laki-laki yang tunai tugasnya pagi ini. Saya merasa keren.