Lalu sepanjang hari lagi akan kulalui bersama mama di sal tinggi ini.
Di pagi pertama suster tiba dengan meja roda, menyuntik dan memastikan lima tablet tertelan dengan baik. Mengamati tetesan laju infus tanpa hambatan.
Aku menanti reaksi separuh jam, mama mulai bangkit duduk, lamat dan aku mengambil lengannya, berjalan menyeret ke kamar toilet. Tak jarang mama muntah.
Perut ini selalu mual setelah obat brengsek itu! Kata mama memerah. Aku diam saja, konsentrasi mendukungnya kembali ke bed.
Aku memutar tuas penegak bed, sampai mama menemukan titik yang nyaman di ranjangnya.
Kau putri mama yang paling pintar! Kata mama memoles kepalaku seperti aku anak kecil, padahal aku sudah 16 tahun.
Lalu aku menyuapi mama, biasanya lumayan separuh, tapi kali ini hanya sepertiga piring dan aku tak hendak memaksakannya.
Tak lama dokter visit berdamping suster masuk, semuanya berwarna putih bersih. Dokter melekatkan stetoskop, mimiknya selalu serius.
Dia memandang mama dan melihatku, sedikit lama menanti anggukannya. Lalu berbicara perlahan kepada suster yang kurang kudengar. Kemudian aku melepaskan mereka lanjut ke ruang sebelah.
Kembali kami berdua melakukan sunyi menuju siang matahari. Aku mengeluarkan majalah wanita kesukaan mama dan menawarkannya. Tapi kepala mama bergoyang.
Jangan membawa majalah, terlalu memikirkan ukurannya! Katanya dengan mata tanpa gairah.
Aku akan memijati mama! Kataku mengulurkan tangan, mama diam terpejam, dan aku memijatnya perlahan sampai dia ternyenyak.
Menjelang tengah siang, mama bangun, dia terlihat grogi dan lemas. Aku membelai lengannya lembut
Nak, yang ingin mama ketahui. Katanya. Hanyalah ini:
Sekaleng bir dingin, kue jahe coklat yang panas, kue meringue yang manis abis, satu kaleng biskit dan sebungkus sigaret! Tiba-tiba mama meradang digugahan tidurnya.