Semua bermula dari kesedihan yang paling, dari baris huruf yang saya tulis di platform itu.
Dan tak saya menyangka, saya tidak bisa memilikinya tapi saya merasa bahwa saya telah kehilangan platform itu.
Sekiranya dia telah berpaling kepada orang-orang baru, membuat saya tidak lagi mencintainya, tetapi betapa saya mencintainya
meski saya merasa, masa muda memang telah berlalu dan uban ada di kepala.
Lalu di tengah keremangan otak saya, seorang sahabat datang membawa sebatang pohon mawar pada satu sore yang cerah.
Untuk siapa ini kawan? Tanya saya.
Untukmu teman! Jawab dia.
Saya menelusuri tumbuhan berduri di tangannya, terlihat juga beberapa pucuk tunas bunga mawar. Saya mengerutkan dahi bergaya seperti admin,
Apakah engkau tidak salah kamar, kawan? Tanya saya.
Kawan saya ketawa, dan saya kenal jika dia ketawa permintaannya sudah vonis, tak mungkin bisa dirijek.
Baiklah, my friend! Terima saya, demi kesehatannya, pikir saya sedikit bijak.
Kawan saya pun pergi dengan membawa hati sukak, meninggalkan satu pohon mawar di pelukan saya, sementara saya berdiri tanpa berbuat banyak.
Tanaman berduri itu, lalu saya geserkan ke beranda sehingga terasa ganjil kerna tak ada tumbuhan di sana, sampai pohon mawar itu menjadi satu-satunya mahluk botani lonely.
Sebelum masuk rumah, ada rasa iba merayap ketika saya meninggalkannya, entah tiba-tiba saja saya terbaper, menatap ranting-ranting bercucuk tajam dan tunas hijau pinknya, saya merasakan sesuatu yang tergantikan.
Sebelum tidur, saya merenung tentang kehilangan cinta saya pada platform kekasih hati saya, yang sudah berpaling perhatiannya kepada yang muda-muda. Saya pasrah aja membawa rasa pupus ke alam tidur saya.