Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jendela Luna

15 September 2023   21:18 Diperbarui: 15 September 2023   21:37 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Luna membuka buku-buku jarinya yang memerah. Bukankah darah? Tapi dia tidak menggubrisnya. Tanpa rasa sakit dan tidak bisa dijelaskan, lalu dia mengabaikannya.

Nanti juga hilang sendiri! Kata hatinya. Jika dia berjabat tangan.

Luna duduk di tepi kayu jendela, yang menghadap jalan,  matahari masih berusaha menembus hujan yang tebal. sehingga mobil-mobil di jalan berwarna lebam.

Luna memegang telpon, dia menunggu panggilan masuk, biasanya jam-jam segini.

Tak lama selulernya bergetar tapi dia tak mengusapnya, dia menunggu sampai getar keduabelas.

Pas di duabelas , scroll up.  Luna menyingkap rambut dari telinganya, melekatkan gajet rapat. Telepon tidak menjawab, diam tanpa nafas, terasakan licik dan kejam. 

Luna menutup selpon dan kembali membuang mata ke kaca jendela, hujan masih lebat.

Hari kedua selfon bergetar, itu berarti jadual kunjungan ayah yang tidak dapat dijelaskan , pokoknya pemberitahuan dua hari.

Luna bersiap meraut muka, kulitnya bule, agak memucat, dia memolesnya jadi sedikit benderang. Cantik, seperti selebriti. Lalu kembali duduk melawan jendela basah.

Ayah selalu datang dalam hujan. Selalu.
Melakukan pejalanan sembrono sepuluh jam menentang angin berkecepatan 160km/jam. 

Berapa laju mobil ayah? Luna tidak tahu dia cuma bisa merasakan, betapa cepatnya. Jadi mobil itu selalu rusak, terutama wipernya, itu yang diingat Luna kecil. 

Tapi waktu mesin depannya terangkat, dia hanya melihat sekejap, itupun dari balik sebuah long vehicle. Ayah selalu begitu, jika di belakang kemudi, tidak ada yang menghentikannya.

Luna tidak tidur sepuluh jam, sampai ketukan terdengar di pintu depan rumah. Itu hampir tengah malam.

Dia membuka kayu berat pintu, dan menemukan ayahnya yang tampak canggung. Wajah lelaki di depannya letih, tapi mengambil tangan Luna dan menjabatnya. Luna melihat telapaknya tak lagi berdarah.

Bagaimana?
Luna diam, dia berjalan ke meja makan, mereka biasa duduk berdua di situ.

Kau tampak cantik!
Luna diam, gadis itu mengambil gelas mug berisi kopi panas dari tungku di grill.

Betapa baiknya!
Luna diam saja, memperhatikan ayah mereguk kopi besarnya.

Berapa lama? Akhirnya Luna bersuara.
Besok pagi sekali, sayang! Jawab ayah, suaranya berat.

Luna menyentuh gajet, jam digitalnya di angka 2:37.
Ayah harus kembali! tiba-tiba ayah bangkit dan mencium dahi Luna. 

Lelaki baya itu bergegas keluar  rumah, dan menghidupkan mobilnya yang berlumpur tebal, sehingga kerusakan kap mesin depan tidak kentara. Hujan masih jatuh keras.

Jangan lupa perbaiki wiper depan ayah! Dan jangan lupa di dua blok ada pom bensin! Teriak Luna.

Tapi mesin vehicle itu sudah menderu. Luna memandangi, mobil ayah seperti barang rongsok, rangka depannya ringsek, rodanya bengkok, kaca-kacanya retak.

Tapi ayah tak terhentikan, ayah selalu ngebut!

Selepas suara ribut mobil ayah menghilang, Luna kembali ke kamarnya. 

Jam tiga pagi, dia tak ingin lelap. Luna melanjutkan duduk di depan jendelanya. Hujan masih tebal, warnanya berkilat diaduk sinar lampu jalan.  

Terlihat jauh, mobil-mobil satu dua berjalan kilat, pasti salah satunya ayah! Gumam Luna. Dia melamunkan ayah.
Senyum manis ayah yang gugup saban ayah berlari ke arahnya Luna merenung.

Apakah dia sudah merasakan kematian? Apakah artinya dia sudah menebak kematiannya? Luna masih merenung.

Luna yang memegang handfon, dia masih menunggu getar berikutnya, entah kapan.
Tidak ada yang diketahuinya untuk menjelaskan kunjungan berikutnya.  

Tidak dapat dijelaskan, bahwa bahasa yang tercipta dapat menjadi sarana untuk membuat diri dan ayahnya lebih dekat. Untuk memungkinkan menyentuh satu sama lain, dan kemudian mundur menunggu jadual kunjungan berikut

Hingga mentari memutar cakrawala, Luna masih duduk di jendela, merapikan kekacauan kenangan yang harus ditanggungnya. Menanti jendela untuk duabelas kali getaran selulernya pada kunjungan selanjutnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun