Saya lupa kapan mengenalnya, saya cuman inget cuaca jelek yang mengenalkannya.Â
Malam itu, dia memakai sweater biru langit , berdiri di belakang garis hujan di paving pertokoan. Ini hujan ke empat belas dan yang paling sublim di musim yang buruk.
Tak luput, segala basah, termasuk perempuan itu. Dasar roknya rata terguyur hujan yang miring, apalagi sepatu basketnya basah jadi sebiru tajam.
Saya mendekati wanita itu.
Hujan ini tak bisa henti sampai mentari! Ku antar ke tujuan jika tak keberatan! Seruku melawan suara air.
Dia menorehkan pandang, matanya membulat memikirkan alien yang tiba-tiba saja tegak di hadapannya. Tapi sepertinya dia kerap mengalami lelaki modus.Â
Dia menggeleng dan dari gerak rambut basahnya, terurai kristal air berpendaran.
Maaf, saya terbiasa dengan cuaca jelek! Jawabnya.
Saya menyingkap hoodie dari kepala saya.
Baiklah, kau pegang saja payung ini untuk membawa kau pulang! Saya menaikkan payung, dan dia mengambilnya.
Kau bisa mengambil payungmu esok malam! Jawabnya nyaris ditelan hujan.
Saya mengangguk lalu menebas hujan, kembali ke sepeda motor menyala, tak lama laju kilat saya sudah membelah jalan genang, sehabis meletakkan perempuan itu di tepi hujan.
Keesokan malam saya pulang kerja dan melewati jalan semalam, hujan turun tebal tapi janji menemukan perempuan di tirisan toko memaksa saya berjeda. Saya memarkir di antara kendaraan yang berhimpit.
Mmmm... begitu ramai? Saya menggumam.