Perobahan pola mereka sangat tidak terasa, seperti dari pola permainan kotak atau persegi untuk kepemilikan bola dan rencana penyerangan, sangat lumer dan hampir tak terdeteksi, tiba-tiba saja berubah menjadi permainan satu-dua atau long pass sayap untuk crossing, via wing back Romero atau Manuel Molina.
Dari permainan kaki jarak dekat, tiba-tiba menjadi permainan kaki jarak medium atau jauh, disimulasikan oleh Albiceleste dengan amat natural, sampai hampir zero mistake kita temui sepanjang permainan mereka. Demikian halnya kehandalan mereka dalam menguasai bola seperti sudah satu jiwo, bukan hanya kaki, kepala, punggung, badan, tangan, semua digunakan seperti insting.
Beberapa momen terlihat, ketika bek sayap Argentina, Medina sedikit terlambat, Â dan dia hanya menyentuh bola lalu berbalik badan memayungi bola yang sudah berjarak menggunakan punggungnya, saat Elkan Bagott menerjang dengan kaki panjangnya yang tidak sampai dan juga bodynya, sehingga keduanya terguling dan menjadi pelanggaran Bagott.
Demikian pula terlihat cara khas gelandang menyerang Argentina, Paredes yang kerap mengambil bola dari kaki Raffael, tidak hanya menggunakan kaki, tetapi juga body dan lengannya, sehingga menjauhkan lawan.
Tampak pula, jarang nian pemain Argentina melakukan sliding atau bared tackle yang menjulurkan kedua kaki, kebanyakan memainkan semua anggota tubuh mereka untuk menelikung bola.
Hal ini semua, memperlihatkan bahwa sepakbola Argentina memiliki soul dan bukanlah semata perang babat atau spirit buta.
Dari cara berlarinya saja, udah kelihatan mereka begitu elegan dan efektif, enggak mati gaya. Meski Indonesia terkenal memiliki pemain  sprinter super cepat, tetapi langkah panjang dan elegan pemain setrip biru ini selalu di depan.
Jadi melihat pertandingan semalam, adalah Indonesia bermain sepakbola  dan Argentina memainkan seni sepakbola.
Argentina memperlihatkan suatu pencapaian budaya sepakbola negara yang sudah menjadi darah daging, bahwa sepakbola itu keindahan dan keindahan Albiceleste itu seperti sihir dalam setrip biru di lapangan hijau. Makanya di Argentina selalu muncul bintang-bintang ajaib seperti Kempes, Batistuta, Maradona lalu Messi.
Apakah sepakbola nasional kita bisa mencapai level seperti itu? Mungkin perlu regenerasi bertingkat untuk tidak terjebak instan dan pragmatisme kronis, mesti ada revolusi mental untuk menemukan akar dan jati diri sendiri. Iya enggak sih?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H