Bukan soal kemenangan mengenai Argentina, melainkan tarian Tango dari keindahan rona putih di biru langit, La Albiceleste.
Jika di lapangan kita cuman melihat kalah menang mungkin kita jadi begitu lack, kita kehilangan gap bahwa sepakbola bukan garis linier dari yang berasal dari suatu kemenangan.
Pemandangan matchday Argentina vs Indonesia kemarin memang menyisakan kekaguman kita kepada sebuah timnas Indonesia yang memainkan sepakbola pada level adekuat di dalam pertandingan langit, meskipun kalah dua kosong.
Pringkat 149 melawan peringkat juara dunia menjadi sesuatu banget, ketika selisih besar peringkat yang diletakkan di lapangan menjadi tidak kentara apalagi jomplang.
Timnas pun jadi buah bibir yang menjadi sejarah 19 Juni 2023, bahwa kita pernah bersanding dengan pantas bersama juara dunia Argentina.
Namun saat kita terpesona dengan timnas kita semalam, ada baiknya membuka celah pintu lebih dalam, bahwa Argentina membawa sebuah value permainan sepakbola estetis, permainan indah dengan mengendalkan kekuatan fisik, skill, Â passing dengan kecerdasan para pemain memainkan otaknya, serta kecakapan dalam memainkan taktik.
Bapak budaya sepakbola Argentina, Cesar Louis Menotti dengan kebangkitan sepakbola Argentina di 70an, telah menjadikan filosofi permainan khas tim Tango seumur hidup, yaitu kesebelasan yang kuat dan menang dengan metoda yang indah.
Meski tidak apple to apple, harus diakui bahwa kekuatan yang dipertunjukkan pada matchday FIFA kali ini mungkin Argentina hanya menampilkan 40-50 persen dari kemampuan full mereka pada saat mengalahkan Perancis di di final Dunia 2022 yang lalu.
Meskipun begitu, benang merah permainan Agentina tetap nyata di lapangan bahwa sepakbola adalah kekuatan, keindahan dan metoda yang mempesona.
Memakai setelan 4-4-2, Argentina bermain sangat likuid, yang terpantek kaku hanya dua bek tengah, yaitu kapten German Pezzella dan Medina, Â delapan pemain lainnya bermain dengan metodis banget sesuai dengan posisi dan taktik aktual di lapangan.Â