Ku pikir kita bisa melanjutkan mencari? Lelaki di depanku menawarkan.
Aku setuju! Jawabku sembari menghabiskan soda dingin.
Lalu kami bangkit dan melangkah menelusuri separuh lagi panjang pedestrian Braga. Cuaca cerah masih milik kami, meski tak terasa sore magenta mulai terlihat.
Ada barangkali lima spot lagi kami tuju, namun bukan itu yang masuk ke dalam memori kepalaku.
Tentu saja aku ingat! Tetapi bukan titik-titik itu semua! Terangku sedikit kesal. Lelaki itu juga mematung seperti menopang asa.
Masih ada esok bukan? Katanya.
Ya.
Ku pikir kau bisa kembali ke hotelmu dan menenangkan jiwa, mungkin memori itu akan merayap keluar! Katanya berusaha sabar.
Aku memandang langit yang sudah menurunkan warna senja dan terlihat lampu-lampu jalan mulai mengedip menyiapkan malam yang segera mendarat.
Perlu aku menhantarmu? Katanya.
Tidak aku menginap di de Braga, aku akan berjalan , hanya sepelemparan batu! Sahutku.
Kau?
Aku di Savoy!
Nice!
Baiklah, sampai besok pagi! Tutup katanya.
Ya! Tutup ku.
Lalu kami berpendar ke arah berlawanan membelakangi. Meski mau menatap punggungnya, aku melewatkannya saja tanpa menoleh.
Lelaki itu memang masih keren seperti dulu, meski sudah lampau ditinggal mati istrinya, sedang aku masih melajang semenjak silam  pacaran kami yang tak jelas memudar dengan sendirinya. Saat itu kami berlaku sendiri-sendiri, dia menikah dan aku menjomblo.
Kemarin tak disangka kami dipertemukan semesta di jalan Braga yang pernah melipat kisah kami berdua, saat dahulu di dalam redup Braga dia menyatakan cintanya, tapi aku tidak berkata apa-apa,  yang seterusnya  waktu, dia capek menanti. Ingatanku menguar.
Tiba di hotel, aku penat dan jatuh lelap. Dan aku bermimpi berada di hijau dan redup Braga, anginnya berbau harum seperti bau hutan. Aku tak tau ada rasa cinta yang merayap keluar tubuhku dan membawa mimpi ini padanya. Â Apakah aku terlalu lama dan dalam menyembunyikan cinta di dalam hatiku sehingga hanya menyalakan tawa di mataku selama ini?. Apakah hatinya masih sakit seperti dulu?
Tiba-tiba aku terjaga di pertanyaan mimpi. Duduk di tepi kasur spring, menekuri jam dinding di angka tujuh. Aku menatap bintang langit Braga lewat jendela kamar. Merapikan diri dan melangkah ke luar hotel.
Diluar, malam sudah turun hampir merata di kawasan Braga, udara dingin mulai mendesak pori-pori dan aku merapatkan kardigan.
Aku berjalan mengikuti kemana kaki melangkah, sampai tiba di satu sudut tepi beranda bangunan yang bertangga. Di separuh tangga batu aku duduk tanpa sinar memadai, sepi dan dingin. Â Dari situ, aku menatapi jalanan Braga yang temaram dan tersenyum.
Baiklah, akhirnya aku sudah menemukan titik Braga yang kami cari, suatu tempat tersembunyi, yang menyembunyikan cinta di dalam hatiku! Dan esok aku akan mengajakmu untuk memulainya kembali di titik ini! Kataku dari dalam hati.