Hari tidak bergerak seperti gambar, saya tidak mengambil apa-apa dari Panorama hanya mengikuti diamnya, jadi seperti gambar. Saya tau saya duduk di pojokan dihiasi kabut yang kaca dan matahari yang sudah menggelar di jalan terbenam, warnanya seperti luka merah.
Perempuan di sebelah saya, menundukkan kepalanya seperti tepekur, rambutnya jatuh mengikuti, barangkali terlalu lama berada di Panorama.
Akhirnya di berkata.
Kau lihat merah mentari langit? Katanya menaikkan jari tengahnya. Saya mengangguk.
Itu seperti luka aku! sambungnya.
Kenapa?
Iya,itu luka yang tidak diketahui siapapun!
Kenapa?
Kerna aku tidak memberi tanda bahwa luka itu menembus aku!
Saya memandang di laju matanya, mata yang sayu hampir setengah kelopak juga setengan bola. Gadis itu cantik dan semakin rupawan di dalam kesedihan.
Sejak kemarin saya memperhatikan kamu! Kata saya.
Hmmm.. Perempuan bergumam.
Berapa lama?
Empat puluh hari!
Sampai kapan?
Dia menggeleng, tapi rambut indahnya tetap lurus terjatuh. Saya menghampiri dan bergeser lebih dekat.
Boleh saya mengantarmu pulang? Saya menawarkan.
Kenapa? Dia tersenyum patah.
Disini terlalu banyak orang bersedih! Lihatlah! Jelas saya sambil memperhatikan orang-orang sendiri yang duduk mematung.
Hmmm.. Kamu  adalah kejanggalan! Balasnya.
Maksudmu?
Dia menatap muka saya seperti melihat manusia bodoh. Tempat ini tempat kehancuran! Katanya nyaris berbisik.
Dan saya mengamati sekali lagi sekeliling jalan yang lebih rendah, Â semakin banyak orang-orang duduk diam layaknya gambar dengan muka halaman kosong. Saya lalu merasa, saya adalah alien.
Jadi kamu menolak tawaranku? Tanya saya. Gadis itu menatap kabut seperti menghadapi kekosongan jawaban.
Mungkin nanti sehabis merah mentari! Katanya singkat.
Baiklah! Jawab saya. Kemudian kami melanjutkan penantian lanskap ke lebih diam.
Akhirnya, meskipun perlahan warna merah Panorama mulai meredup sehingga rona merah luka tidak lagi bersisa mengisi ruang Panorama, berganti dengan degradasi gulita berbaur sinar kimia lampu jalan. Sebagian manusia masih belum beranjak, tetapi gadis di sisi saya mulai beranjak.
Sekarang?
Mmm... Dia mengangguk.
Lalu kami bersisian berjalan keluar meninggalkan ruang Panorama, sebentar-sebentar kepalanya membuang pandang ke belakang seakan tak lekang meninggalkan ruang vista kesedihannya, tapi dia terus lanjut. Kami pun berlaju pelan menyusuri pedestrian normal di pinggir malam.
Aku tinggal di empat blok kemudian! Cetusnya ketika kami sudah memasuki blok-blok rumah berbentuk kubus.
Dan saya mengantar gadis itu hingga di pintu kaca tebal apartemen baloknya, dia berdiri mematung sekejap dan menengadah, menatap langit tanpa panorama apapun.
Kini waktunya aku menikmati lagu lirik kesedihan. Terimakasih! Pamitnya, dan dia berbalik melangkah masuk.
Hei! apakah besok saya bisa menjumpaimu lagi di Panorama? Tanya saya berharap. Gadis elok itu berpaling.
Mungkin! Jawabnya, lalu dia melangkah menembus pintu, meletakkan saya seorang di depan rumah bloknya.
Keesokan hari saat matahari menjatuhkan senja, saya sudah berada kembali di jalan panoramik itu. Sudah banyak orang duduk sendiri-sendiri, semua mereka terdiam menikmati turunnya warna merah luka matahari.Â
Saya mengambil papan duduk yang kemarin, menanti perempuan kemarin yang belum kunjung tiba. Tidak ada suara jalan, tak ada bahkan suara angin, hanya kabut kaca yang turun melebihmerahkan dinding transparan Panorama.
Dan lama saya menanti sang gadis kemarin, namun tak juga terlihat bahkan jejaknya pupus sampai mentari benar-benar pulang. Saya tak bermaksud apa-apa lagi kecuali mencari lagi salah satu perempuan lain dari semuanya yang sedang dilanda kebanggaan akan hati yang hancur. Saya harus memperbaikinya! Bisik saya dari dalam hati.
Namun tak lama seseorang wanita menghampiri saya, dia bergaun hitam, beraroma wangi, dan berjalan seperti melayang. Dia mendekat dan menyodorkan selarik kertas. Ini dari gadis kemarin, katanya ringkas, lalu dia berlalu. Saya membuka lipatan tulisan tangan di kertas  yang seperti menu itu lalu membaca. Jika kita tak lagi bertemu di bumi, please, jangan lupakan aku!
Saya menyapu tatap berkeliling dan urung mendekati orang-orang di jalan Panorama, lalu memutuskan keluar,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H