Hujan tanggung meredam sedikit udara malam panas di Tanamera, orang-orang mengendurkan waktu kerja panjang hariannya. Ibu-ibu memasak malam, lelaki banyak duduk berbicara meleraikan penat. Hari biasa seperti hari tanpa perubahan.
Rumah-rumah berdempetan dan sebuah alur jalan di tengahnya sejarak mobil masih menyempatkan kesibukan lintas yang riuh. Suara-suara mesin vehicle motor, mobil bercampur bunyi anak-anak yang bermain dan bayi-bayi yang merengek.Â
Degup Tanamera memang tipikal seperti detak jantung kampung-kampung yang lain. Kampung serba setengah, setengah tembok setengah triplek, tapi Tanamera punya sejarah rumit sejak dia hanya dipisah sebatas dinding dari lapangan kantong-kantong besi likuid beraroma wangi berdiameter ratusan. Hanya sepelemparan batu jaraknya, sehingga deru aliran pipa cair dan bau aromatik yang lembut kerap membelai lapisan udara Tanamera.
Menuju pukul tujuh, seorang lelaki tigapuluhan berjalan terbungkuk menyusur dinding batas yang panjang. Cahaya menyembunyikan sosoknya merupa bayangan, sekilas sinar mencuri bagian wajahnya yang bergaris kuat berjanggut dan berkumis tebal sementara rambutnya bergerai menggapai bahu.Â
Lelaki itu melangkah perlahan, sesekali lengannya menyentuh tembok batas kampung Tanamera dengan lapangan tangki, sesekali dia menatap langit kelam. Sebentar langkahnya membeku seperti mengukur jarak dan waktu, lalu meraba susunan bata seperti meraba temperatur, lalu dia menyeberang menghitung langkah ke deretan residensi yang pepak, kemudian kembali, dia menyusuri dinding batas. Â Begitu berulang-ulang dia lakukan.
Beberapa orang melihatnya selintas bertanya. Apa yang tuan kerjakan?
Lelaki bergurat itu menoleh dan menatap tembok. Batas ini terlalu dekat dengan langit! Katanya, suaranya berat. Orang-orang berpandangan tidak mengerti lalu meninggalkannya, beberapa menggeleng. Lelaki itu kembali menyampingi dinding batu bata.
Menjelang malam jam delapan, lelaki bertangan kokoh itu melekatkan pendengaran di lapis dinding, kemudian tmengamati rembulan yang tersaput mendung seperti berujar , tibakah waktunya? Dan dia sudah mendengar suara gelombang dalam silinder panjang, bercampur suara perintah-perinah di sebalik dinding.
Tekanan pipa sudah dinaikkan! Sekarang babi siap diluncurkan! Suara itu didengarnya, dan lelaki merasakan getaran dalam tanah. Getaran bergeser ke permukaan bumi.Â
Shutdown! Shutdown! Tak berapa lama terdengar susulan teriakan dari balik tembok. Bersamaan, sang pria brewok mengendus aroma rantai karbon dengan gradasi menyengat. Sedemikian segrakah kini? Paras pria itu berkerut, dia menatapi orang-orang di sepanjang jalan, lalu dengan gerak kebas, dia menjelang kerumunan terdekatnya.
Pergilah! Tanda-tanda sudah dekat! Sergahnya bagai perintah menyuruh minggat. Tapi orang-orang memandang ganjil, mereka berbisik bahwa hal biasa, bahwa bau rantai karbon sedang membumi Tanamera.
Kalian tak lagi memiliki waktu, pergilah! Â Sebentar pula batas langit ini akan tersapu kabut! Please saudaraku! Dia bersikeras kepada kerumunan yang masih terbiasa diam bertahun.
Dan benar, tidak sampai bermenit, kabut tipis mulai menyembur dari balik dinding panjang, seperti embun yang kemudian merayap turun seiring gravitasi lalu melayang berjalan mengikuti lorong mendekap jalan dan rumah-rumah. Bau tercium pun menjelma berbeda dari kebiasaan, aroma aromatik menyengat kasar.
Hazop! Hazop! Emergency! Emergency! Tiba-tiba pusaran pengeras terdengar desperate disertai alunan gahar siren dari tanah sebelah.
Lelaki berjanggut berdegup. Inilah waktunya, pergilah! Dia berteriak.Â
Serentak orang-orang berpendaran ke segala arah mencari sanak, harta dan jiwa untuk diringkas pergi. Dalam beberapa sekon chaos bakal terjadi, sejalan dengan semburan embun siklik turunan bensen berwarna putih menebal seperti menaungi kampung petaka, semua berkedip, menutup mata, dan hidung berlarian menjauh dinding batas Tanamera. Mereka mulai bertumpuk berlarian berusaha melepaskan kabut karbon yang mulai mennyelimuti Tanamera dan membasahi tubuh-tubuh.
Lelaki kokoh bergurat itu ikut menyangga orang-orang yang tua, anak dan emak-emak dan merangkul dengan kedua lengan kukuhnya dan berlari. Jangan ada nyala! Teriaknya di kerumunan. Orang-orang entah mendengar entah juga tidak, karena atmosfer begitu pikuk gemuruh.
Pria brewok  itu menengok ke belakang ke arah dinding batas langit Tanamera, hatinya berdegup hebat. Tinggal menanti titik, apakah sumber api akan berbaik hati untuk tidak perlu hadir, tetapi ini adalah nyala mudah saat flash point uap tebal aromatik yang memang dibawah nol.
Dan betul, dari balik dinding batas, suara ledakan menggetar bumi Tanamera, melontarkan cendawan api raksasa  ke langit diikuti lidah api seperti dari mulut naga menjulur  sigap memakan selimut kabut dense rantai karbon dan oksigen udara yang sedari tadi telah menunggunya di setiap ruang sudut Tanamera. Membuat semua merah hingga ruang terkecil dan menelan segala mahluk yang tertinggal.
Lelaki itu sempat menoleh berhadapan yang melulu api panas merah Tanamera, tak terlihat lagi dinding batas langit Tanamera hanya api dalam pandangannya.
Dia terus melangkah cepat mebawa jiwa yang bisa diselamatkan, dia lelaki yang tahu kemudian, bahwa detik ini Tanamera sedang berbatasan dekat dengan dinding surga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H