Kalian tak lagi memiliki waktu, pergilah! Â Sebentar pula batas langit ini akan tersapu kabut! Please saudaraku! Dia bersikeras kepada kerumunan yang masih terbiasa diam bertahun.
Dan benar, tidak sampai bermenit, kabut tipis mulai menyembur dari balik dinding panjang, seperti embun yang kemudian merayap turun seiring gravitasi lalu melayang berjalan mengikuti lorong mendekap jalan dan rumah-rumah. Bau tercium pun menjelma berbeda dari kebiasaan, aroma aromatik menyengat kasar.
Hazop! Hazop! Emergency! Emergency! Tiba-tiba pusaran pengeras terdengar desperate disertai alunan gahar siren dari tanah sebelah.
Lelaki berjanggut berdegup. Inilah waktunya, pergilah! Dia berteriak.Â
Serentak orang-orang berpendaran ke segala arah mencari sanak, harta dan jiwa untuk diringkas pergi. Dalam beberapa sekon chaos bakal terjadi, sejalan dengan semburan embun siklik turunan bensen berwarna putih menebal seperti menaungi kampung petaka, semua berkedip, menutup mata, dan hidung berlarian menjauh dinding batas Tanamera. Mereka mulai bertumpuk berlarian berusaha melepaskan kabut karbon yang mulai mennyelimuti Tanamera dan membasahi tubuh-tubuh.
Lelaki kokoh bergurat itu ikut menyangga orang-orang yang tua, anak dan emak-emak dan merangkul dengan kedua lengan kukuhnya dan berlari. Jangan ada nyala! Teriaknya di kerumunan. Orang-orang entah mendengar entah juga tidak, karena atmosfer begitu pikuk gemuruh.
Pria brewok  itu menengok ke belakang ke arah dinding batas langit Tanamera, hatinya berdegup hebat. Tinggal menanti titik, apakah sumber api akan berbaik hati untuk tidak perlu hadir, tetapi ini adalah nyala mudah saat flash point uap tebal aromatik yang memang dibawah nol.
Dan betul, dari balik dinding batas, suara ledakan menggetar bumi Tanamera, melontarkan cendawan api raksasa  ke langit diikuti lidah api seperti dari mulut naga menjulur  sigap memakan selimut kabut dense rantai karbon dan oksigen udara yang sedari tadi telah menunggunya di setiap ruang sudut Tanamera. Membuat semua merah hingga ruang terkecil dan menelan segala mahluk yang tertinggal.
Lelaki itu sempat menoleh berhadapan yang melulu api panas merah Tanamera, tak terlihat lagi dinding batas langit Tanamera hanya api dalam pandangannya.
Dia terus melangkah cepat mebawa jiwa yang bisa diselamatkan, dia lelaki yang tahu kemudian, bahwa detik ini Tanamera sedang berbatasan dekat dengan dinding surga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H