Apakah ini desa terbenam, anak? Saya bertanya random.
Tiga anak perempuan saling berpandangan, satu yang berani beralih tatap, menelusuri tubuh saya dari atas ke bawah, lalu dia mendekat.
Apakah bapak juga mencari cinta lama? Ucapnya dingin.
Saya terhenyak memandang jalan mata ketiga perempuan kecil itu bergantian. Bagaimana mereka tau, tapi saya tak hirau atau mempermasalahkannya.
Betul, saya mencarinya! Jawab saya tertekan. Lalu ketiga mereka menyatu seperti berembug, Â mereka bersuara kecil yang tak jelas. Anak yang berani berbalik kembali mendekat.
Baiklah! Silakan bapak mengikuti kami! Perintahnya.
Lalu mereka berjalan dan saya mengurutnya di belakang. Cukup waktu kami melintas jalan berkelok hingga tiba di satu tata ruang yang lebih sejuk dangan lebih lagi rimbun di jalan masuknya.Â
Saat melangkah gerbang tanpa pintu, saya menyadari bahwa tanah ini  adalah suatu pemakaman yang terlihat tak begitu padat. Banyak ruang tertinggal tanpa gundukan, hanya sesekali saya mendapati tanda makam tanpa satupun kijing. Sampai tak berapa lama tiga kecil itu berhenti.
Maaf, kami tak bisa menghantar, bapak silakan mengambil jalur ini! Kata pemimpinnya.
Saya mengangguk dan memandang arah tangannya ke jalur tanah rata yang sempit dan saya masih mematung menatap ke kejauhan.
Tak usah ragu, bapak akan menemukannya di sana! Lanjut anak wedok itu.
Mmm..., cinta lama? Saya berlaku ragu.
Ya, cinta lama! Jawab serempak mereka.
Lalu saya mengambil langkah memasuki alur yang ditunjukkan, menyemai jalan setapak yang lengang, tak tampak satu tanda pun sampai saya berjalan sekitar 500 meter yang memaksa saya berhenti.
Pandang saya menampak satu makam yang berumput hijau, satu-satunya makam yang ada di tanah, rona warna bunga tabur segar tampak memenuhi alas permukaannya menandakan pengunjung yang tiada henti.
Saya membungkuk dan membaca nama nisan: Sara Cinta Lama. Â Â