Apakah aku masih bisa menjumpaimu kali ini? Beragam rona rasa menyekat tubuhku selama perjalanan rel lurus ini, sehingga separuh perjalanan seperti merusak kemapananku yang sudah terbentuk tanpa kenangan. Tapi di separuh sisa perjalanan, aku mulai memasrahkan saja, seandainya aku bisa atau tidak bisa menemukanmu kembali bagaimanapun aku sudah menjalani ujung dari kenanganku yang terputus abad yang lalu itu.Â
Aku tak akan berusaha menyambungnya, aku hanya ingin mengobatinya dengan  menetapkan keputusan yang menggantung ini, sehingga aku bisa menyimpannya sebagai kenangan utuh yang bisa dengan rela aku tiggalkan.
Beberapa jam berlalu kereta sudah mendekati pemberhentian di kotamu. Hati berdebarku berbisik. Aku pulang ke kotamu!
Sekejap kereta berhenti, aku keluar pintunya dan menghirup udara semauku, bau udara kotamu yang khas selalu menetap di dalam indera rasa yang tak lekang waktu. Meski udara sedikit mendung aku tetap menyukainya warna kelabu muda yang akrab memelukku sama seperti 25 tahun yang lalu.
Hari ini waktu tanggung menjelang siang yang adalah suasana yang paling menenangkan, sehingga aku tak merasa buru-buru dan mulai memikirkan tempat tujuan pertama untuk mencarimu. Meski ku tau tujuan itu seperti tujuan wajib tentang cerita-cerita kita di masa lalu.
Tak jauh dari stasiun kotamu aku memutuskan berjalan kaki, sekalian menetakkan langkah sejuta kenangan tentangmu. Hati yang memburu tak bisa ku abaikan membuat langkah kakiku yang semain berat sedekat tujuan tercapai.
Tiba di jalan kita yang di rimbuni pohon tamarin yang berdaun gemericik turun seperti lembaran air, aku mengambil duduk di bangku deret pedestrian di bawah tonggak lampu limas berukir besi cor.Â
Dan kenangan wajahmu semakin liat mengitar di sekitarku, bahkan aku merasakan bahwa hanya disinilah engkau selalu berada. Â Berada di jalan sumbu kehidupan yang ikut kamu jalani dengan penuh dedikasi, membuatku lama merenung dan termangu.Â
Aku menanti seperti  sebuah kepastian bahwa kamu tetap setia menapaki jalan kewajiban ini. Dan aku terus menunggu, hingga menjelang matahari terlewat dari kulminasi lalu mengirimkan atmosfer yang lebih dingin. Aku bangkit berjalan menghangatkan diri menghindari beku dan terus melangkah mencari kamu.
Dimana kamu, apakah gerangan kamu masih ada? Aku bertanya separuh asa, sementara hari menunjuk petang, dan hari berjalan mulai melambat seperti turut membeku.
Aku terus berjalan menguak lapisan kenangan yang juga membeku dan berlari ketika akhirnya aku melihat sosokmu yang aku kenali. Perlahan aku mulai melihat bentuknya. Apakah kamu masih terus berjuang sampai kini? Perlahan aku bergumam. Menatap sosokmu dalam pakaian kebesaranmu, kamu tampak masih tetap tegap dan gagah perkasa.
Dan lalu aku memegang tanganmu yang terasa dingin, sementara tubuhmu yang tegap yang diliputi baju kebesaranmu terlihat membeku, membisu dengan matamu memandang lurus.