Aku dilarang mama pulang ke kotamu. Mama nggak ingin kamu luka! Ingat mama.Â
Meski aku sudah dewasa sekarang, surat perintah mama adalah harga mati. Aku masih mematuhinya, tapi sampai kapan?
Duapuluh lima tahun telah bersilam dan aku masih memegang teguh untuk tidak pulang ke kotamu sampai kini aku menua di 50. Dan mama kemarin baru saja berpulang membawa serta haru biru pesannya yang meluntur.
Jon, kau boleh pulang ke kota itu sekehendakmu! Pesan mama menjelang ajal.
Aku hanya mengangguk dan berlinang karena tiga luka kehilangan di dada, kehilangan mama, kehilangan kamu dan kehilangan diri sendiri.
Meski 40 hari setelah mama pergi aku tidak mengganti pakaian hitamku entah mengapa, mungkin aku mulai menyukai duka, atau mendung atau hujan atau segala hal berwarna kelam sebagai sarana penyendiri untuk introvert.
100 hari setelah kepulangan mama, aku berbenah terutama hati, sungguh! Kapan lagi aku akan memulai hidup sekehendak jalanku, tapi awan kelabu tetap menggantung sehingga aku masih berbaju hitam meski bukan satria baja lagi.Â
Tidak ada pula kepulangan yang ku nanti selain kepulanganku nanti yang masih misteri, sementara sejalan waktu  yang telah menjeratku kembali kepada sindrom kepulangan. Sehingga di hari ke 101 aku memutuskan untuk pulang ke kotamu. Â
Bagaimana kabar kamu? Aku sudah tak bisa membayangkan seperti apa keadaan kamu, wajah kamu, body kamu, senyum kamu, status kamu sekarang ini. Hanya teronggok kenangan terakhir kamu di masa 25 tahun silam, kita melekat tanpa sekat wajah mudamu yang terus tersimpan di bagian otakku yang terbelakang. Pesan jumpa terakhir mu yang selalu ku kenang dan terngiang kala itu.
Kita memang berbeda mas, tapi aku akan terus berjuang! Katamu di perpisahan kita yang abu-abu. Aku tidak sanggup berkata lagi selain merelakan kepergianmu.
Aku akan tetap menunggumu mas, meski sampai tubuhku membeku! Ulangmu lirih. Lalu kamu berjalan menghilang pulang ke kotamu.
Rasa deg-degan mulai merasuki dada ketika malam ini aku berkemas untuk perjalanan pulang ke kotamu, segala perlengkapan aku bawa tanpa luput, lengkap dengan potret masa muda kita berdua, siapa tau wajahmu berubah setelah tergempur masa.
Esok paginya aku segera menuju stasiun Balapan dan bergegas mengejar jadual kereta menuju kotamu. Ada rasa sembilu ketika aku duduk di dalam kereta rel mengenang 25 tahun yang lalu, sementara lagu speaker menyuarakan, ning stasiun balapan, rasane koyo wong kelangan, membikin kalbuku semakin trenyuh.Â