Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pasar Gede 2050

11 Januari 2023   13:52 Diperbarui: 11 Januari 2023   13:57 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pasar Gede Surakarta (Fristin Intan/Kompas.com)

Hari masih rendah, matahari belum beranjak tapi saya sudah tiba di pasar gede, orang-orang belum berniaga, mereka membongkar paket barang jualan dan membiarkannya sembari menata etalase. Belum ada pembeli pastinya, hanya pedagang bekerja saban hari seperti bernapas.

Saya memandangi bangunan belanda di seberang yang sekarang menjadi kotak niaga buah-bahan dan  kotak-kotak kuliner di lantai atas, tentu saja bangunan itu masih tertidur.

Saya lalu mengambil duduk di atas jok motor menatapi aspal yang dingin. Masih terlalu dini tapi tak apa, sebentar pasar gede akan bergeliat setelah pukul delapan lebih.

Saya menanti apakah ini hari yang di maksudkan menjadi pertemuan tahunan, saya tidak mengetahui tepatnya, hanya Desember,  demikian kata kamu. Saban bulan Desember itu waktunya, satu tahun sekali, kita menyajikan kesepakatan pertemuan, tanggal, hari bahkan jam itu bukan hal penting. Hanya clue Desember kali ini adalah pasar gede Solo.

Di tengah lamunan, tampak mentari mulai memecah langit membuka hari, membuka pintu rejeki, saya mulai merasakan degup pedagang buah yang membawa aneka warna menawan, lalu jajanan khas yang menghangat dan segala rupa buah tangan kota.

Saya pun bisa menghirup atmosfer pasar yang bening dari celah-celah gangnya yang nyaman, pasar gede memang tidak tampak seperti pasar, dia lebih menyerupai tetangga-tetangga yang saling berjualan benda kwalitet premium, langka dan murah.

Saya mulai menyadari sebelum terlalu hanyut dalam degup pasar gede,  akan pukulan jam telah  menyentuh angka sembilan, namun tidak ada tanda bahkan firasat. Apakah pertemuan kembali terhapus hari ini? Saya merenung dalam kalbu bahwa Desember telah hampir di ujung, dua matahari  lagi masih tersisa sebelum berganti tahun. Hati saya pun seperti terbang berkejaran dengan tenggat. Dimana kamu, sehabis duapuluh delapan kali hari saya berdiri di muka pasar gede?

Orang-orang datang mulai memenuhi halaman muka pasar, ramai memilih penganan yang dijajakan dengan bingung karena begitu ragamnya, orang-orang heritage becampur turis nasional, mereka bertemu di titik ini menukarkan uang dan fashion, namun pasar gede bergeming.

Jangan beli ke pasar gede jika dipenuhi pelancong luar border! Saya masih terngiang nasehat praktis dari bibir indah kamu yang membuat saya tersenyum.  Kenapa? Tanya saya. Tunggu sajalah, esok akan ada waktunya! Jawab kamu serius.

Pikiran saya mengawang kembali bersama rasa ketidakpastian dan batas harapan seandainya duakali matahari aku tak menjumpai kamu maka tanpa ampun tahun ini akan menutup dan menggenapi setahun wajahmu terhapus.

Sekelumit tiba nuansa cemas saat mentari meliputi langit tegak lurus, pukul duabelas panas di tengah kota tapi pasar gede tetap dingin  rimbun dengan dagangan hati, namun tidak juga mengusik was-was.

Saya duduk di tepi bangku dawet solo memesan semangkuk wedang manis ini dan menghirupnya perlahan, seperti yang pernah, melarutkan hati-hati jenang ke dalam usus. Ada rasa dingin dan rasa masa lampau melompat ke belakang batas waktu. Dimana kamu sayang, setelah periode tigaratus enampuluh hari apakah kamu absen kali ini?

Hingga mentari mulai condong kamu tidak juga kelihatan dan sayapun bersiaga untuk mennggamit sepeda motor ketika seorang perempuan berbaju hitam menyeruak selasar pasar gede yang masih pepak. Separuh langkah berlari dia mendekat, sementara paras pipinya berbayang terhalang topi bucketnya yang juga hitam. Saya menatapnya di lurus jalan pandang saya dengan degup.

Akhirnya kau tiba jua! Bisik saya sumringah.
Maaf, aku begitu terlambat! Katanya terengah.

Dan kami berhadapan begitu dekat, dia mengusap rambut gerainya yang terurai angin senja, mata indahnya masih menyala, dagu tirusnya menyajikan senyumnya yang kaku.

Saya memegang bahunya yang ramping. Kamu masih cantik! Saya memuji kangen.
Perempuan itu merunduk . Tidak! Kau semestinya menatap lebih terang garis-garis di wajahku! Katanya sunyi. Dan aku sangat tahu, wajah berlekuk samar perempuan itu adalah kecantikan yang selalu saya dambakan sepanjang kehidupan.

Saya sudah menyiapkan tempat untuk kita berbincang di penghujung tahun pertemuan ini! kata saya sambil menggamit lengan langsingnya.
Maaf, tidak untuk tahun ini! Dia bergeming tanpa merespon ajakan saya.
Maksudmu?
Maafkan aku, kupikir aku sudah memutuskan untuk mengakhiri  semua ini. menghentikan perjanjian tahunan yang selama ini kita jalani!
Kenapa sayang? Tanya saya bagai tersengat voltase tinggi.

Kau tau, tahun berganti serasa kilat bagiku.  Aku selalu dikejar waktu yang semakin menghimpit, sedang kamu? Ku pikir kamu masih memiliki interval panjang. Aku tak mungkin bertahan lagi! Sungguh! Perempuan itu berbicara dengan mata mendungnya, wajahnya pun tersaput lapisan gurat-gurat wajahnya meski bagi saya dia tetap mempesona,tiada tara dan tak tergantikan.

No, no way! Kamu tidak bisa demikian saja memutus waktu cinta tahunan kita sekonyong-konyong! Please! Kata saya bersikeras bercampur memohon.

Perempuan pesona itu diam sejenak, bola mata redupnya menatap jalan mata saya. Pandanglah saya! Tataplah gurat-gurat wajah saya dan tetaplah pandangmu di sana.

Lalu kami berdua terdiam seperti membiarkan angin yang menyapu pedestrian pasar gede mengerjakan tugasnya di senja yang jatuh di sepanjang batu terotoarnya.

Lama saya menatap parasnya yang memang telah di penuhi garis gurat yang semakin menajam, namun saya tidak pernah melihatnya seperti maunya wanita ini, tapi  pula saya telah tahu dan mengerti apa yang sudah diambilnya, untuk dirinya juga untuk pribadi saya, tidak lagi ada perjumpaan tahunan lagi. Segala akan berakhir di pasar gede.

Lalu dia mengambil tangan saya dan menaruhkan di pipinya agar telapak saya merasakan guratan parasnya, sementara telapak jemari lengan satunya terangkat menyentuh lembut kulit wajah saya.

Kau masih 20 dan aku sudah 50! Bisiknya lirih sebelum dia menghilang pergi.

Sumber dari pixabay.com
Sumber dari pixabay.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun