Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Stasiun Solo Balapan Arumi

30 November 2022   20:35 Diperbarui: 30 November 2022   20:42 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari selalu senja begitu kereta komuter Jogja-Solo berjalan dan berhenti dari ujung Tugu ke ujung Palur, tapi saya tidak pernah sampai menapak ke Palur, saya selalu berhenti tegak lurus di Solo-Balapan. Berangkat terpagi pulang tersore, sehingga tidak ada warna hari lain di dalam gerbong yang beku, hanya warna senja.

Apakah anda pernah jumpa Arumi? Seorang pemuda menanyakan hal tidak biasa.
Maaf! Jawab saya.
Tapi bukankah anda setiap hari melakukannya?
Maksud kamu?
Perjalanan komuter ini!
Maaf, nama saya Ari! Katanya lagi.

Saya memandang pemuda itu, wajahnya tampan tetapi tidak bening, barangkali dia menyimpan sesuatu yang panjang, ada mata yang berharap akan sebuah jawaban, mungkin tepatnya harapan.

Benar kan? Dia mendesak, saya mengangguk.
Tapi saya tidak mengenal Arumi! Jawab saya.
Tapi anda sudah banyak melewatinya, seharusnya anda mengetahui Arumi! Katanya seperti menyesalinya.
Lalu tanpa lama pemuda itu meninggalkan saya, tepat di depan gedung kereta Solo-Balapan yang sempit untuk sebuah setasiun kereta kota.

Hari sudah masuk ke langit malam, saya tak hendak berpikir perjumpaan konyol ini karena rasa hati saya hanya lurus seperti terlalu banyak melintasi rel. Turun ke pedestrian stasiun jantung Solo ini selalu begitu, biasa dan selalu dalam keadaan biasa dan saya melangkah ke timur buat menjemput sepeda motor yang saya parkir di pendoponya dan saya mendengar suara seorang perempuan.

Mas! Mas!

Saya menoleh ke belakang mencari sumber suara tapi tak menemukan titiknya, mungkin karena noise derit roda kereta dan roda taksi online, saya kembali melangkah.

Mas! Mas!

Kembali saya freeze, menoleh, dan saya melihat seorang perempuan berjarak cukup melambaikan tangan ke arah saya, pandangan saya tak begitu bersih sementara sosok itu separuh berlari mendekati. 

Dan saya tidak bisa melihat sepenuh parasnya karena dia memakai topi bucket yang cukup dalam sehingga lebih setengah wajahnya terbenam di bayang topi embernya yang serasi.

Mas Ari kan? Peremuan itu memecah merdu suaranya tepat di hadapan saya yang masih terhenyak oleh wanita jelita ini. Segera dia membuka topi indahnya dan melemparkan kedua mata bulatnya.

Hei! Mas Ari lupa? Aku Arumi! Sambung perempuan semampai itu.
Arumi?
Iya, mas aku Arumi! Come on! Katanya seperti merajuk pengakuan. Saya memandanginya saja, mengambil udara lebih panjang buat mensenyapkan batin saya yang berdetak.

Maaf, nona benar saya Ari. Tapi... saya pikir nona salah orang! Terang saya. Paras perempuan itu terlihat kecewa.
Tidak mas. Kamu selalu melakukannya bukan?
Maksud nona?

Setiap hari! Setiap hari mas menjalaninya pulang dan kembali dengan kereta Solo-Jogja... Jawabnya bernada turun. Aku tak pernah melewatkannya mas Ari, selalu disini Setasiun Solo Balapan.

Saya masih menggeleng perlahan memunculkan rasa yang tidak enak dan iba, melihat matanya yang bening mulai membasah seperti kaca.

Baiklah nona, saya ingat tadi ada seseorang pemuda yang menyebut nama anda kepada saya, tapi...
Aku tahu mas dan dia selalu mencari saya, tapi...

Kemudian pembicaraan kami terhenti seperti tercipta kesepakatan untuk yang tidak saya ketahui, ketika perempuan ayu dengan fragrance semerbak itu menggamit lengan saya dan mengajak saya melangkah mengikuti lingkar tubuhnya, dan entah saya pun menurut saja menyertainya.

Baiklah mas Ari, tapi aku hanya minta tolong sekali ini saja. Katanya dekat dengan kulit wajah saya.
Maaf, saya pikir kita bisa mencari pemuda yang mencari nona tadi. Kata saya menawarkan. Perempuan muda setuju dan menganggukkan leher jenjangnya.

Mas Ari bisa menemani saya di kafe stasiun buat menantinya, please? Dia tampak membuat parasnya memelas dan saya menurut saja dan menjawab no problem.

Kami pun berdua memasuki kafe yang tidak terlalu ramai namun beraroma capuccino, mengambil meja dan saya memesan kopi sementara dia memesan wedangan.

Selanjutnya tiba-tiba saja kami berbincang seperti dua sejoli lama yang tidak berbatas, saya pun tidak berkeberatan untuk membuang waktu bersama Arumi di kafe Satasiun Balapan, sementara dia menyakinkan saya bahwa pemuda yang mencarinya akan berakhir di ruang kafe ini. Dan saya mempercayainya, tanpa hendak mencampuri privasinya dengan pemuda yang menanyakan saya tadi.

Lalu waktu berjalan cepat tanpa cacat sedikitpun mendekati malam yang semakin melarut, saya lihat Arumi tidak menampakan rasa gelisah sekecilpun, dia begitu nyaman bersama diri saya, hingga saya mulai menyadari bahwa malam semakin padam.

Arumi, saya pikir saya mesti pulang! Kata saya. Dia terdiam, matanya menjadi kosong.
Baiklah mas Ari, aku akan tetap disini dan terima kasih telah menemani saya. Jawabnya dengan suara lirih. 

Lalu saya meraih legannya buat pamit, sementara Arumi menghempas tubuhnya dan mendekap saya lekat bagai tak hendak melepaskan.

Saya pun meninggalkannya sendirian di Stasiun Solo Balapan yang mulai sunyi dan hanya didatangi penumpang-penumpang penempuh subuh. Saya masih menatapnya dari kejauhan dari jalan luar beranda Stasiun Solo Balapan dengan rasa kecamuk.

***
Hari-hari rel pun kembali berjalan dan sejak itu seorang pria berwajah baru pejalan komuter Solo Balapan kembali terlihat menyapa acak beberapa lelaki di sekitar sambil mengajukan pertanyaan yang sama kepada tiap lelaki yang disapanya.  Dan dia tak lagi menjalani kereta, dia hanya berputar-putar di stasiun Solo Balapan, sambil terus bertanya kepada siapa saja. 

Apakah anda pernah jumpa Arumi? Begitu yang keluar dari bibir saya setiap harinya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun