Saya melihat sekilas, ketika perempuan itu lewat. Tubuhnya semampai rambutnya emas terurai dia berkelebat seperti angin, demikian kilat.
Itu Merigold!
Mataku mencoba melepas koran di tanganku, menelusur pandang melalui kaca kafe, tapi perempuan itu telah musnah ditelan pedestrian membuat hanya udara tersisa.
Kau mengenalnya, kawan? Tanya saya.
Hhhh.. bagaimana mungkin kau tak mengenalnya? Jawabnya.
Saya menggeleng, meraih gelas lalu mereguk.
Demi Tuhan! Merigold adalah perempuan sempurna di kota ini dan kau sama sekali tak hirau?
Hei! Sungguh aku tak mengetahuinya! Sahut saya.
Lelaki planet mana yang ada di seberangku ini? Kawan saya menggerutu.
Lalu?
Apa?
Merigold! Desak saya.
Paras lelaki di depan saya berkerut, dia mengambil sigaret memerahkannya lalu meniup nikotin ke langit-langit.
Perempuan indah berona keemasan. Dia impian segala lelaki, kau tau heh? Tapi..
Tapi apa?
Kudengar nasibnya tak seberuntung keelokkanya. Â Banyak pria menghamba, namun semua ditepiskannya. Bahkan beberapa bunuh diri membawa cinta separuhnya ke liang lahat. Maaf aku merinding!
Sobat saya memandang dengan mata kosong.
Apakah kau salah satunya? Tanya saya.
Dia mengambil udara panjang dan menghempaskannya. Dia tak menjawab, hanya kepalanya sedikit merunduk. Aku mencintainya demi hidupku! Jawanya lirih.
Lalu kami terdiam beberapa saat, saya tidak merasakan apa-apa tentang kedahsyatan yang menimpa kawan satu ini.
Apakah dia kerap lalu lalang bagai tadi? Tanya saya penasaran.
Sekali waktu, Merigold hanya berkelebat...
Dan hari mulai pecah barangkali jam sepuluh lima belas, waktunya matahari naik lebih tinggi.
Maaf aku lanjut! Kata saya permisi.
Lelaki friend itu diam tidak bergerak dan saya bangkit meninggalkannya kerna interval brek kopi sudah selesai.
Saya pun keluar kafe dan separuh berlari menuju office yang berjarak seratus meter. Meneruskan kerja untuk sebuah kota sepi yang baru dua bulan ini saya lakoni.