Saya menunggunya 6 jam untuk mendapatkan 6 bungkus, orang-orang duduk menunggu, tidak ada yang membaca hape, mungkin karena terlalu lama.
Berapa jam tuan menunggu? Seseorang bertanya.
Enam! Jawab saya.
Begitu lama?
Saya memandang wajah orang baru itu, saya ingin mengatakan bahwa selama ini saya sudah menunggu selama 6 jam kali 6 tahun, tapi saya tak sampai hati mengucapkannya kalo-kalo saya menghancurkan hatinya. Saya hanya mengangguk.
Sekarang tersisa 6 menit, saya merasa sudah dekat. Dan benar kepala orang apotik  itu muncul dari lubang kotak kayu yang terbuka. Tuan Andres! Dia menyebut nama saya lalu saya berdiri dan dia menjulurkan tangannya yang merambah 6 bungkus plastik.
4 di pagi hari, 3 siang dan 2 malam ya pak! Jelasnya satu persatu.
Terima kasih!Â
Saya mengambil 6 bungkus itu, memasukkannya ke dalam kantung kain yang saya kaitkan di bahu. Orang baru itu mendekati saya lagi.
Maaf! Saya baru. Apakah saya juga akan menunggu 6 jam? Katanya.
Tentu saja! Jawab saya. Terlihat parasnya kecewa.
Di sebelah hanya menunggu 6 menit saja! Mengapa? Katanya lagi.
Karena mereka lama di kamar periksa! Jawab saya.
Orang itu mematung entah mengerti entah tidak mengerti yang saya maksud, dia mengangguk ragu-ragu.
Saya meninggalkannya dan membiarkan pikirannya di kepalanya.
Ke luar bangunan hari yang tinggi sudah turun berputar lagi, saya pulang menggunakan angkot, waktu itu pukul 4 sore.
Pagi hari saya meminum 4, yaitu 3 berwarna putih dan 1 berwarna merah muda. Lalu saya sarapan dan menunggu. Hari belum bersinar penuh, dari jendela saya masih menaksirnya pukul 8, lalu meraih lagi air kemasan dan saya minum lagi. Saya hanya menunggu 30 menit sebelum sarapan.
Biar apa dokter? Saya pernah bertanya.
Penyerapan sempurna! Jawabnya.
Lalu saban pagi saya menanti setengah jam sebelum makan nasi atau roti, sambil menanti matahari yang masih menyelipkan kepalanya ke dalam. Setiap hari itu.
Saya adalah orang yang menunggu sudah 6 tahun, dari menunggu pendaftaran, menunggu praktik dokter, menunggu resep obat, menunggu angkot. Sampai paginya saya menunggu setelah menelan 4 butir, menunggu lagi. Saya sudah hafal itu setengah jam, paling enggak lebih atau kurang 6 detik dari setengah jam.
Apakah saya mengukurnya dengan waktu dokter?
Tentu saja! Kata dokter.
Tapi saya sudah tidak hirau lagi dengan menunggu setengah jam pagi itu, setelah berjalan 2 tahun lalu, saya telah memiliki tolok ukur yang lebih dalam. Maksud saya, saya mengukurnya dari dalam tubuh saya yang saya pikir ketelitiannya lebih tinggi dari jam digital. Berapa digit? Enggak taulah!
Seperti pagi ini dengan pasokan bulanan obat baru, saya meminumnya 4 tadi dan sekarang duduk menunggu, saya tidak deg-degan atau membaca sesuatu untuk membuang waktu, saya diam saja menatap jendla terbuka dengan mata terbuka.
Saya diam saja sampai merasa waktu setengah jam itu mulai mendekat, meskipun saya tidak menghiraukan detik jam dinding atau gambar waktu jam di hape.
Itu dimulai dari  mata, dan saya akan memandang warna langit dari jendela yang berubah berwarna putih, semula tipis yang tanpa terasa putihnya, masih ada biru dominan. Kemudian jadi berubah seperti kapas saja, dia tidak menebal, jika sudah seperti ini, kapas yang mengalir lalu bertambah intens laju alirnya. Kapas-kapas itu melaju lewat kotak terbuka jendela dan terus mengalir tanpa putus. Akhirnya kapas itu membanjiri otak saya.
Inilah waktunya sarapan! Bisik saya.
Kau yakin sudah meminum obatmu sayang? Seorang setiap kali wanita bersuara. Saya mengangguk.
3 warna putih dan 1 warna merah muda! Bisik saya lagi.
Lalu dia memasukkan makanan ke dalam mulut saya dan saya mengunyahnya.
Rasanya hambar! Bisik saya.
Tentu saja itu akan menjadi permen-permen kapas! Jawabnya.
Saya terus saja mengunyah dan menelannya, tiada rasa selain hampa.
Saya merasa permen kapas terus membanjiri otak saya. Selama ini, setiap pagi setengah jam setelah obat pagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H