Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Obat Pagi

8 Mei 2022   16:30 Diperbarui: 8 Mei 2022   16:33 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image from pixabay.com

Lalu saban pagi saya menanti setengah jam sebelum makan nasi atau roti, sambil menanti matahari yang masih menyelipkan kepalanya ke dalam. Setiap hari itu.

Saya adalah orang yang menunggu sudah 6 tahun, dari menunggu pendaftaran, menunggu praktik dokter, menunggu resep obat, menunggu angkot. Sampai paginya saya menunggu setelah menelan 4 butir, menunggu lagi. Saya sudah hafal itu setengah jam, paling enggak lebih atau kurang 6 detik dari setengah jam.

Apakah saya mengukurnya dengan waktu dokter?
Tentu saja! Kata dokter.

Tapi saya sudah tidak hirau lagi dengan menunggu setengah jam pagi itu, setelah berjalan 2 tahun lalu, saya telah memiliki tolok ukur yang lebih dalam. Maksud saya, saya mengukurnya dari dalam tubuh saya yang saya pikir ketelitiannya lebih tinggi dari jam digital. Berapa digit? Enggak taulah!

Seperti pagi ini dengan pasokan bulanan obat baru, saya meminumnya 4 tadi dan sekarang duduk menunggu, saya tidak deg-degan atau membaca sesuatu untuk membuang waktu, saya diam saja menatap jendla terbuka dengan mata terbuka.

Saya diam saja sampai merasa waktu setengah jam itu mulai mendekat, meskipun saya tidak menghiraukan detik jam dinding atau gambar waktu jam di hape.

Itu dimulai dari  mata, dan saya akan memandang warna langit dari jendela yang berubah berwarna putih, semula tipis yang tanpa terasa putihnya, masih ada biru dominan. Kemudian jadi berubah seperti kapas saja, dia tidak menebal, jika sudah seperti ini, kapas yang mengalir lalu bertambah intens laju alirnya. Kapas-kapas itu melaju lewat kotak terbuka jendela dan terus mengalir tanpa putus. Akhirnya kapas itu membanjiri otak saya.

Inilah waktunya sarapan! Bisik saya.
Kau yakin sudah meminum obatmu sayang? Seorang setiap kali  wanita bersuara. Saya mengangguk.
3 warna putih dan 1 warna merah muda! Bisik saya lagi.

Lalu dia memasukkan makanan ke dalam mulut saya dan saya mengunyahnya.
Rasanya hambar! Bisik saya.
Tentu saja itu akan menjadi permen-permen kapas! Jawabnya.

Saya terus saja mengunyah dan menelannya, tiada rasa selain hampa.
Saya merasa permen kapas terus membanjiri otak saya. Selama ini, setiap pagi setengah jam setelah obat pagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun