Gol bodoh Manchester City diperoleh di penghujung waktu, lahir dari sepakan aneh seorang Phil Foden, pemain sayap yang ngacak seperti apa yang tercermin di kepala pelatih plontos Joseph Guardiola.Â
Satu-satunya gol ajaib yang diperoleh ManCity ini melengkapi performa buruk City setelah kekalahan sebelumnya dari Tottenham Hotspurs dari rangkaian permainan tidak indah The Citizen yang kali ini melawan ayunan Merseyde, Everton, di Avenue Goodison Park, hari Minggu lalu.
Itu datang 10 menit tersisa, ketika Bernardo Silva memberikan umpan silang dekat yang ngawur dan diterima lawan, di sisi dua sejajar center back Everton, pertama Malson Holgate yang keliru cleared up malah membelokkan bola ke bek kedua Michael Keane yang hanya bisa mengiris separuh bola sehingga bola berjalan liar jatuh menyerong Foden, dan dengan posisi tendangan ganjil, Phil Foden, si ahli sepakan drive, berhasil menjadi predator. 1 nol untuk City.
Tak terlihat dominasi ManCity kali ini, yang tampak malah ketangguhan dan kegigihan Everton dalam perlawanan mereka yang tidak bisa dipudarkan dengan gol stupid ini, awan abu-abu Goodison telah mensirnakan ManCity  yang dikenal sebagai kesebelasan yang tak terhapuskan untuk perkara permainan indahnya.Â
Tidak ada terlihat permainan orang-orang ibukota itu sebagaimana biasanya, mereka terkubur oleh kepribadian kiper Jordan Pickford, penyerang de Andrade Richarlison dan gelandang ortodoks Donny van de Beek. Tidak ada kepemilikan bola City yang superior, duel bola, dan speed, semua dimiliki pasukan Lampard yang lebih banyak bergaya Chelsea.
Permainan ManCity yang downgrade, sebuah gol bodoh, dan satu hadiah keputusan anti-penalty wasit Paul Tierney yang mencengangkan, telah memenangkan The Cityzen kali ini. Menghasilkan Pep Guardiola yang gamang dan Frank Lampard yang gundah. Satunya calon kampiun, satunya lagi calon terdegradasi.
Padahal Everton begitu gigih yang dengan lekas selalu memadati kotak penalti mereka saat mengenyahkan serangan ManCity, sehingga tidak ada gedoran mengerikan duo Silva-De Bruyne di tengah. Sementara Sterling dan Foden di sayap kiri dan kanan keseringan kalah cepat dan ketinggalan jaman di poros yang dimiliki Doucore dan Donny van de Beek.Â
Membuat kepala Pep terasa mulai panas ketika dia mulai memutar Silva ke sayap kiri dan Foden ke tengah sejak langkah catur ManCity di ubah di awal babak kedua. Tapi pengawal kotak penalti Everton masih tetap saja kejam dan tidak membuat City berbunga, sampai terjadi gol norak tersebut.Â
Takdir Everton berlipat ketika kesempatan memperoleh penalti dari pemain sekelas Rodrigo yang panik menyentuhkan lengan atasnya di kotak kekuasaan kiper Ederson, tetapi wasit dan VAR bersekutu untuk tidak menyelenggarakan tendangan 12.Â
Ini adalah kans yang semestinya bisa menjadi lambang kemegahan seorang Frank Lampard berjalan tegak dengan pasukannya yang terbiasa kalah dari City namun paling tidak mereka bisa pergi dari pitch Goodison dengan dada harapan yang bisa mengangkat mereka di atas Leeds United.Â
Inilah pertandingan tersedih yang dilakukan di tengah kancah berbagai refleksi Everton di tangan "untired" Frank.
"Saya sangat bangga dan pada refleksi ini, kami akan melihat ke belakang dan berpikir 'pertunjukan yang luar biasa'" Kata Frank Lampard yang masjgul sehabis pertandingan yang ambigu ini.
"Saya memiliki seorang putri berusia tiga tahun di rumah yang dapat memberi tahu Anda bahwa itu adalah penalti," tambah Lampard yang mencerminkan betapa bernilainya sepakbola di kehidupannya.
Frank Lampard yang mirip Liam Nesson, telah merestrukturisasi pemerintahaannya dalam permainan kali ini pada formasi  masa lalunya di Chelsea, 4-3-3 dengan kekuatan tengah Aboulaye Doucoure, Allan dan van de Beek. Tiga tengah keras the Toffees ini membuat jerih kehebatan jabatan Rodri di tengah Kota, membentak hingga underthinking seorang Guardiola, terutama di babak pertama.
Poros kiri dari homeground Everton yaitu, full back Jonjoe Kenny, Donny van de Beek dan Anthony Gordon juga lebih berbunga untuk membentak dan membuat gugup dua bek tengah Dias dan Laporte yang kerap menurunkan Rodri ke bawah sebagai jantung bertahan City.
Harusnya Frank menggunakan 4-3-3 secara eksis, dan meninggalkan 4-4-2 jadul yang sebelumnya banyak mengalami masalah bagi The Toffees ketika dua sayap Iwobi dan Gordon sudah pakem ball possession yang meringankan beban gelandang mereka, sekaligus membuat fullback ManCity, Cancello dan Stones menyatakan pikir-pikir dulu untuk maju menyerang ke depan.
Sayang permainan Everton di paruh pitch depan tidak adekuat untuk menyelesaikan sebuah gol pun, umpan panjang dari tengah ke depan masih menjadi handycap Everton, yang kurang percaya diri untuk merekayasa serangan melalui pola poligon dari garis ke garis untuk menyerang lebih tajam.Â
Ini masih menjadi pekerjaan rumah manajer Lampard karena jaman telah berbeda ketika masa Wayne Rooney masih bekerja sebagai peledak dan mesin gol Everton di waktu silam. Apakah pekerjaan Lampard akan rampung sebelum tersalip degradasi? Who knows?
Dan Pep Guardiola yang mulai menjadi pemaaf bagi diri sendiri harus mulai menghadapi kenyataan bahwa waktunya penguasaan bola ManCity bisa jadi sudah mendekati obsolet ketika di gebrak Everton dan sebelumnya dihantam oleh Spurs.Â
Bahkan Pep sempat berucap ketika menandai hadiah pembatalan penalti untuk Everton setelah Rodri menahan bola dengan lengannya. "Mungkin wasit memiliki pertimbangan lain dengan melihat bahwa Richarlison berada dalam posisi offside" celetuk pelatih pelontos tersebut.
Apakah ini pertanda bahwa The Citizen menyadari bahwa sudah waktunya memberikan jalan kampiun Permier League kali ini kepada I Love Youpool Liverpool? Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H