Di leg-2, Timnas kontra Timor Leste, siapa pengendali lapangan Timnas?Â
Marselino Ferdinan atau Rahmat Irianto? Mencoba melihat peran keduanya di lapangan saya tidak menemukan pola yang jelas, siapa sang pengatur lapangan? Sesekali Marselino, lalu Rahmat, kadang-kadang bersamaan atau kadang-kadang pula tidak keduanya. Seperti ada dua jendral di lapangan, sehingga skema Shin Tae-yong kelihatan rancu.
Posisi Rahmat di gelandang serang sebelah kiri kadang merangkap menjadi gelandang tengah (bertahan), begitu pula posisi Marselino di gelandang tengah dengan posisi lebih ke atas seperti posisi sembilan palsu, namun kadang-kadang bermain terlalu dalam menjadikannya gelandang bertahan. Jadi sering terjadi overlap atau irisan yang sama antara Rahmat dan Marselino.
Mengoptimalkan Marselino di gelandang tengah serang bisa lebih baik, sementara Rahmat berperan sebagai gelandang bertahan saat diserang.
Jalur flank kanan yang diisi full-back Bayu Fikri-Ricky Kambuaya-Terens Puhiri, sudah terjalin bagus dengan hasil gol dari Terens. Ini karena Kambuaya murni sebagai gelandang kanan serang, sementara Bayu Fikri mengisi full flank dan Terens memanfaatkan area half flank yang merupakan area kosong antara area tengah dan feriferal pitch lawan, akibat tarikan flank keluar (Bayu Fikri) dan gelandang ke tengah ) Kambuaya.Â
Terens berlari di jalur kosong half flank ini dan Kambuaya memberi umpan sejajar dari area tengah yang dengan mudah di teruskan menusuk jala Pereira pada kejadia gol pertama.
Sementara di jalur sayap kiri full-back Arhan-Rahmat-Rumakik, tidak semulus jalur sayap kanan, menjadi sering rusak karena peran Rahmat ke belakang berat untuk recover ke penyerangan, sementara Marcelino tidak mengisi posisi Rahmat sebagai gelandang kiri. Meskipun Rumakik bisa menghasilkan gol yang keren, tapi itu usaha solo run Rumakik dan menendang dari jarak jauh menembus gawang Timor Leste.
Percobaan 2 posisi kepada Ronaldo Kwateh, juga sulit dimengerti. Pada leg-1 Ronaldo masuk di babak-2 menempati posisi sayap kiri menggantikan Ramai Rumakik, sementara di leg-2, Ronaldo menempati posisi penyerang tengah.Â
Kedua posisi berbeda ini sebenarnya cukup familier buat putera Mahesa Jenar ini, tetapi tampilan Ronaldo di leg-1 sebagai winger lebih menakjubkan, harusnya STY menempatkan Ronaldo sebagai sayap dan konsisten meurunkan Dedik sebagai penyerang, karena Dedik itu striker sedang Ronaldo bukan tipe striker. Â
Dedik sebagai penyerang kesayangan Shin Tae-yong, mesti terus digenjot di setiap laga, karena Dedik bener-bener strike one! Cuma saja hingga saat ini belum beruntung menciptakan gol, mungkin itu karena STY sibuk dengan jalur kanan-kiri Witan-Asnawi, Arhan-Ramai. Sedang di tengah sibuk dengan Kambuaya dan Dimas.Â
Jadi jarang skema serangan dibuat untuk menjadikan Dedik sebagai targetman, malah kadang-kadang Dedik dijadikan dummy, sehingga Dedik benar-benar harus sebagai strike-one. Ini salah satu hal yang ganjil, ketika gol-gol yang diperolehTimnas bukan dihasilkan oleh penyerangnya.
Rada bingung juga, ketika kualitas individu pemain nasional mulai merata di level young and rich, pelatih Shin Tae-yong belum juga bisa memadukannya menjadi kesebelasan hebat.Â
Barangkali pelatih Shin orang yang agak peragu, terlalu banyak setelan dari mulai personal skill, positioning, sampai formasi lineup, sering berubah-rubah, kadang oke, kadang tidak karuan. Mungkin juga overthinking, apa mungkin juga masalah bahasa, ya?
Pelatih Timnas harus mulai membangun karakter timnas sehingga menjadi signature, baik itu secara team maupun individu pemain. Mumpung pemain muda nasional tumbuh semarak dengan kepintaran yang tidak pernah kita duga sepengalaman sepak bola Indonesia selama ini.Â
Sebab pasti deh kelihatan di lapangan, performa timnas begitu gampang berubah seperti cuaca, yang menandakan bahwa penanganan kepelatihan belum sepernuhnya dimengerti padahal pemain-pemain kita sedang menuju skill dan knowledge yang melewati standar yang biasa kita temukan pada timnas-timnas terdahulu.
Contohnya timnas Timor Leste, yang mungkin pertandingannya tidak banyak dilihat oleh kita, ternyata mereka memliki konsistensi sama di laga leg-1 maupun leg-2, sedang kita naik turun. Â
Kaki-kaki kuat, ball possession, stamina,lari kencang, menang duel dan pola penyerangan yang baku, sudah mereka miliki, tinggal mereka harus mencapai skill standar pemain yang merata dan itu hanya soal waktu. Berbeda dengan Timnas Indonesia dengan bakat yang melimpah, tapi tidak kunjung menemukan bentuk yang solid, tak peduli kalah atau menang.
Apakah harus menanti lagi ke pegelaran selanjutnya, apakah Timnas masih saja menjadi sebuah Timnas yang disetiap pertandingannya membuat deg-degan karena takut kalah?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H