Dari tiga, saya yang paling bontot, kedua yang lain berusia 10 dan 12 tahun, sedangkan saya baru 9 tahun. Kami berteman dan kerap pergi bersama kemana arah tujuan, selalu bertiga, jika berdua atau sendiri kami pulang dan tidak berbuat apa-apa, karena bertiga membikin kami aman dan seru.Â
Dari serangkaian anak-anak sebaya di sekitar hunian, kami bertiga bagai terberai dari mereka, karena kami tidak bermain bola sepak, tidak bermain kasti atau galah asin. Kami tiga serangkai tidak suka sport macam mereka umumnya, sehingga kami menjadi eksepsion, dan gerombolan sebaya menjuluki kami tiga yang weird atau tiga ganjil.Â
Terpisah dengan kebanyakan, sepeti minyak di air, saya dan dua karib ini tidak doyan aktifitas common mereka, enggak tertarik. Heru, teman saya yang paling kolot menegaskan bahwa level kami berada diatas mereka, sedangkan Udin, teman saya yang tengah mengatakan bahwa grade kami lebih intelegent dari mereka. Saya sendiri masih diam saja.
Lalu apa pendapatmu, Bambang? Tanya keduanya kepada saya. Namun saya tetap diam saja, dan mereka berdua, Heru dan Udin, mendesak saya membuat statement untuk grup tiga kecil kami.
Apa, Bambang? Kejut mereka di muka saya, membuat saya sedikit gugup.
Mmm..baiklah! Ku pikir, kita bertiga jauh lebih dewasa daripada anak-anak main itu! Jawabku ragu.
Lebih dewasa?! Heru dan Udin berteriak surprise.Â
Mereka mengguncang dan merangkul-rangkul saya, seperti saya telah membuat gol di suatu laga sepakbola.
Tentu saja! Biarpun kamu bontot, tapi kepalamu berisi lumer, heh? Bukan main! Kita adalah lebih dewasa dari anak-anak mentah itu! Celetuk sang ketua si Heru.Â
Dan saya tiba-tiba merasa sukak telah mengeluarkan pernyataan yang menjadi bombastis di kepala kedua senior saya itu, sementara mereka masih saja mengusap-usap kepala saya yang mereka pikir ber IQ tinggi.
Lalu kami bertiga seperti biasa, malam itu berkumpul di tempat biasa, yaitu di pinggir jalan di bawah satu lampu merkuri untuk memperbincangkan segala hal penting sampai yang tetek bengek.Â
Heru yang tertua, menceritakan gadis-gadis kelas sekolah SMA, meskipun dia masih SMP, tapi dia pandai mendongeng tentang kecantikan cewek-cewek SMA di dekat sekolahnya, dan di dalam bualannya, saat ini dia sedang nembak primadona yang bersekolah SMA di sana.Â
Begitu pun Udin, juga tak kalah kencangnya, ceritanya dia saat ini sudah punya gebetan baru yang lebih imut dari sebelumnya, sedang sependek pengetahuan saya, belum ada kabar angin bahwa dia pernah punya satupun pacar. Tapi saya mendengar ocehan keduanya, ternyata asik-asik aja, sampai akhirnya mereka bertanya kepada saya si bungsu.
Hei! Sekarang, apa ceritamu, Bambang? Tanya kedua mereka serempak. Membuat saya gelagapan, saya merasa tersudut kerna saya sama sekali nggak punya kisah tentang wanita. Mereka menunggu-nunggu bualan saya, tentang sepak terjang saya dengan perempuan lain, tapi saya betul-betul mati angin. Sumpah saya enggak pernah punya temen wanita seorangpun, apalagi pacar.
Wah! Ternyata kamu culun, Bambang! Sentak si Heru, membuat saya tersinggung di cap culun. Hati kecil saya tentu saja menolak culun, membuat saya akhirnya berpikir keras untuk menyatakan jati diri di muka mereka.
Oke, oke! Sekarang ikut aku! Saya pun mengajak mereka berdua bergeser, dan menyeret mereka berjalan menyusuri pedestrian. Kedua manusia senior ini senyum-senyum, separuh meremehkan si bontot ini, tapi mereka menurut saja mengikuti langkah saya, hingga kami tiba di sebuah rerimbunan semak yang berada di jalan masuk sebuah rumah besar. Â
Kala itu jam menunjuk 9:30 malam, dan saya merunduk dari balik semak sekaligus memerintahkan kedua kakak itu bersama-sama sembunyi, untuk lalu mengintai rangkaian kaca depan sebuah rumah yang masih benderang sehingga tampak ruang livingnya yang cukup luas. Dan saya menunggu, sementara si dua teman sudah brisik, menerka-nerka apa yang akan saya kerjakan.
Jangan brisik kawan! Saya memperingati. Dan jangan sampai body kalian terlihat dari arah pintu depan itu! Ingat, ikuti perintahku! Perintah saya tegas. Dan anehnya mereka menurut.Â
Tak lama dua menit kemudian kami melihat bayangan bergerak di balik kaca pintu besar, bayangan yang semakin jelas dan menunjukkan sosoknya, seorang wanita semampai terlihat berjalan gemulai, dia bergerak mengambil kursi dan duduk dengan menumpangkan kedua kakinya.
Heh! Bukankah itu tante Erni? Kawan Heru berdesah, dan saya segera menangkup mulutnya untuk menyumpal ocehannya lebih lanjut lagi. Sssst..! Sergah saya menenangkan.
Dari balik gorden kaca yang transparan, kami melihat tante Erni duduk menghadap pintu kaca besar depan sehingga kami bisa menatapnya langsung dan lurus.Â
Tante Erni tampak santai, perempuan itu terlihat membaca majalah ditangannya, sementara kedua kakinya yang jenjang bersilang tumpang. Salah satu kaki panjang yang indah itu berjuntai dan sesekali bergoyang lembut.Â
Keenam mata kami mulai menatap tanpa berkedip, terlebih kedua karib senior saya, keduanya terlihat membuka mulutnya tanpa disadarinya. Ketiga kepala kecil kami bersembulan dari balik bush dedaunan, memandang tante Erni yang memakai rok pendek berbatas diatas kedua lututnya, sedikit tertarik ke atas akibat posisi duduk santainya.
Tanpa aba-aba semua mata kami mengikuti bagian demi bagian, hingga ke bagian paling atas sepanjang mata bisa memandang dengan rona yang semakin memutih pula. Tubuh saya yang paling mungil diantara tiga kami, menjadi tumpuan kedua superior ini guna menjenjangkan leher mereka supaya mereka lebih jelas memandang ke depan.
Hei! Bos! Lemes badan saya inih! Saya berkata memprotes. Namun kedua kaka ini bagai budeg telinganya, dan yang sempat saya amati, wajah mereka seperti sedang berkhayal disertai nafas mereka yang tersengal berkejaran.Â
Dan saya beruntung tak lama akhirnya, tante Erni terlihat bangkit dari kursi santainya, dan anjing peliharaannya yang besar yang luput dari pandangan kami, tiba-tiba sudah berdiri disisinya. Tante Erni membelai hewan jinak besar ini dan tante Erni berjalan menuju pintu untuk mengajak the dog keluar, mungkin kebiasaannya setiap malam mengeluarkan anjingnya saban malam. Â Â
Karena posisi kami bertiga head to head dengan posisi frontal tante Erni and the dog, serentak kami berbalik, bubar, dan berlari sprint, takut ketahuan terpergok oleh tante Erni. Kami berlari kencang melompati teralis pagar rumah tante Erni yang tingginya hampir 2.5 meter. Kami pun berjatuhan bergulingan ke bawah, untuk kemudian bangkit dan berlari lagi menuju jalan keluar, terus berlari melewati beberapa blok rumah sampai kami merasa safe, lalu berhenti dengan nafas tersengal saling bertimpalan.
Setelah kami bisa menguasai keadaan dan lalu mengembalikan keberanian, kami merapat di sebuah kedai minum yang masih open untuk membeli coke sebagai penuang dahaga sekaligus meredakan ketegangan kami.
Teman Udin yang relatif lebih berpunya, mengeluarkan duit dari kantongnya dan membeli hamburger yang kami potong tiga lalu kami melahapnya dengan rakus. Rupanya energi muda kami sangat terkuras.
Heru temen tertua mengatakan kepada saya. Kau hebat Bambang! Aku pikir kau memang sudah cukup dewasa, Bambaaang! Lanjutnya memuji.
Tetapi saya tak begitu hirau akan ucapan mulutnya. Saya lebih banyak berpikir tentang tante Erni.
Dan saya yakin, bahwa tante Erni sama sekali tidak menyadari apa yang telah diperbuat oleh kedua kaki indahnya kepada kami.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H