Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Panggilan Kejenuhan Supermarket

12 Januari 2022   15:24 Diperbarui: 12 Januari 2022   15:33 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Henri!
Hari ini kau ke supermarket! Kau sudah tau kan tabelnya? Aku terlalu sibuk membereskan kebun ini! Demikian suara lengkingan istri saya terdengar dari taman.
Ah! Hari supermarket. Tidak ada lain selain hal yang membosankan ini.
Saya menekan api rokok di piring tilas sarapan, asapnya bergaris-garis dan bara kecilnya berhamburan mati di spotnya.

Kau mendengarku Henri? Suara dari taman kembali menggema.
Aku mendengarmu Nadia! Mmmm...! Saya menjawab terbatuk. Mengangkat kedua kaki saya untuk merambah tas kanvas belanja dan merogoh daftar belanja di saku dalamnya, lalu melesakkannya kembali.

Kertas toilet, alumunium foil, tisu, jeruk pisang, tomat. Ah! Tentu saja bir kaleng. Itu sebagian yang sudah mengendap di dalam benak saya, di setiap kerutinan mendorong keranjang di supermarket.
Mengganti celana tidur yang bekaret longgar dengan jins blue dan mengenakan kaus berwarna black, saya pun beranjak ke beranda.

Hai, Henri! Ganteng kali kau? Istri saya memberi komentar seraya menyembulkan kepalanya dari balik dedaunan. Aku masih mencari-cari arah suaranya sembari merapikan poni rambutku yang sudah memutih.

Uruslah tanah-tanah kau itu, Nadia! Saya membalasnya lalu melangkah menuju garasi.
Ahaa.. adakah wanita supermarket itu menggoda si tua Henri? Hahaha.. Balas istri saya menggoda.
Namun saya tak menghiraukannya hanya menancapkan kunci mobil kedalam kontak dashboard lalu menghidupkan engine.

Selanjutnya saya sudah menyusuri jalan mulus menuju kota yang tak sampai lima menitan akan tiba di tujuan.
Sementara bawah sadar saya menyeruak, bahwa berkeliling mendorong kereta belanja bukan melulu tetek bengek rumah tangga, tetapi juga pemandangan lain dari rona pelayan-pelayan perempuan yang cantik cekatan. 

Saya masih bisa menghentikan keranjang dorong  bukan kepada barang yang dituju, melainkan pramujaga wanita yang kadang sibuk membungkuk  berkonsentrasi meletakkan stuff ke dalam ordernya. 

Mencuri pandang ke kedua jenjang kaki, lalu memperlambat roda kereta belanja bahkan berhenti untuk mendekat, mencoba mencari barang di dekatnya tanpa alasan yang sebenarnya tidak ada dari dalam daftar. 

Tentu saja istri saya benar! Naluri istri saya yang polos ternyata mengetahui setipis apapun yang dapat dirasakannya. Pikiran ini segera saja menggugah pikiran saya.

Memasuki laman supermarket yang tidak pernah berubah seperti makanan kaleng, saya memarkir mobil, tak terlihat keramaian dan keadaan dingin-dingin saja. Saya pun mengambil kereta belanja dan mendorongnya melintasi pintu kaca otomatik, melangkah masuk ke ruang dingin supermarket.

Meraup beberapa buah apel dan pisang dan tomat di bak terdepan sebelum menyusuri gang consumable dapur dan toilletes. Tak menyadari bahwa tangan saya telah bergerak mahir dalam meraih barang-barang habis ini, lalu beralih ke aisle lain untuk mencari minuman kaleng.

Saya memotong beberapa lorong saat melalui deret makanan kemas, melihat seorang checker wanita yang sedang membungkuk mencocokkan barang di rak terbawah. 

Kembali saya mengalami dejavu supermarket, saat melewati bagian belakang pramumarket itu dengan mengalami adegan slowmotion.  Dua kaki indah tersaji sebagai satu-satunya titik pesona belanja rutin di supermarket yang jenuh.  

Kini saya memperoleh waktu yang saya perlukan, tetapi saya tak mengambilnya. Saya lanjut mendorong keranjang logam saya yang sempat tersendat di latar checker perempuan muda itu, untuk kemudian beralih ke arah tujuan, yaitu lorong-lorong tumpukan likuid.

Menghisap udara sekejap untuk menghapus rona di kepala yang baru saja mempertemukan rencana terhadap kejadian yang tidak terealisasikan, saya berdiam sejenak.

Sehabis terkumpul massa di otak saya, saya mulai mengurut beberapa larutan pemanis dan cans of beer, tak lama mereka pun bergelindingan ke alas jeruji keranjang kawat belanja saya.Beberapa candy dan batang coklat yang tersaji di rak sebelahnya juga tak urung saya raup. 

Dan saya pikir, waktunya  akan segera berakhir, saya kembali merekap potongan kertas list belanja saya lalu menyimpannya kembali ke saku.

Setelah beres semua list, saya mendorong kereta ke lorong meja checkout. Seorang gadis dengan celemek kerja berdiri  dengan senyum menyambut. Saya membaca nameplate yang tergantung di dadanya yang bertuliskan Susan.

Gadis itu menatap saya dan menyapa.  Hai! Bagaimana kabar anda?
Baik! Saya menjawabnya.

Lalu dia mulai menabulasikan pembelian-pembelian saya dengan tanganya yang cekatan, mengusapkannya ke sensor barcode dengan penuh perhatian. 

Saya memperhatikan parasnya dan berpikir bahwa nona ini tidak akan pernah menyadari bahwa lelaki yang berdiri di hadapannya ini, hanya dua menit yang lalu, telah mengalami satu perebutan dari sebuah rumah sakit jiwa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun