Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Saya dan Penyair Laura

1 Januari 2022   17:14 Diperbarui: 1 Januari 2022   17:16 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perdana saya ketemu Laura seperti puluhan tahun yang yang silam. Perempuan Laura itu seorang penyair, sama seperti saya dan pula 3 atau 4 penyair yang lain, yang mana saya tak lagi mengingatnya.

Pada saat itu, kami bersama telah terpilih atau bisa kalian sebut, kami tercebur ke dalam program pembacaan puisi berbayaran sekitar 100 ribu per penyair. Tapi itu bukan soal. Sama sekali bukanlah sucks wedge yang payah. Bukan!

Sisi menariknya buat saya adalah, ternyata program ini tidak hanya membaca puisi an sich, melainkan lebih kaya dari yang saya kira. Selain pembacaan puisi panggung, ada nilai yang lebih gila di balik panggung dan saya pikir penyelenggara yang adalah sebuah universitas lumayan mentereng, mengetahui spirit puisi selain batang tubuh semata. 

Jadi sebelum puncak acara yaitu panggung gahar mebaca puisi, dilengkapi juga rundown pertemuan, diskusi, loka karya sampai proses pemasakan puisi kami yang masih hangat fresh from the oven untuk ditampilkan.

Bermula dengan universitas menjamu kami di dalam acara malam perkenalan, dengan diner yang saya nilai memadai. Saya pun menikmatinya, kami bercengkerama dan sedikit memberikan clue untuk beberapa puisi kami yang sudah centang ungu. Obrolan sehabis gegares, semakin menarik. 

Saya meminum bir penutup hidangan, demikian halnya dengan Laura dan 3 atau 4 penyair lainnya. Tapi ke 3 atau 4 kawan lainnya itu hanya meneguk secukupnya dari kaleng tin digenggaman mereka, sebaliknya saya dan Laura berulang mengorder kaleng-kaleng bir baru. Kami lebih banyak meminum daripada yang lain.

Di kesokan harinya, acara dilanjutkan dengan dapur puisi, maksud saya, kami sebagai penyair terpilih, dipersilakan untuk bebas berkreasi. Mau tutup mulut boleh, mau berdiskusi boleh. Dan hanya Laura yang kerap bertukar isi kepalanya, pada kali itu dia menuliskan puisi berisi waktu-waktu yang mengerikan bersama lelaki, sedang saya mengungkapkan tulisan, bagaimana wanita secara mengerikan memperlakukan saya.  

Tetapi saya tidak blak-blakan mengutarakan pikiran saya kepadanya, mengingat eksperiens saya, jika seseorang mendengarkan ocehan kosong ini, maka dia akan lebih baik mendengarkan kata-kata seseorang yang bukan penulis.
Dan kami semua berusaha untuk memeras imajiner untuk menghasilkan puisi-puisi yang maknyus termasuk ke 3 atau 4 pemuisi yang lain itu.

Tetapi bagaimanapun, yang terbersit dalam kalbu saya ada kontradiksi antara saya dengan Laura dalam menulis urusan hati, bahwa perempuan penulis puisi ini dan saya, secara khas tercermin saling kurang sukak,  terutama di sebagian besar waktu bersama  proses dari puisi-puisi kami.

Melalui satu hari yang sulit, akhirnya kami berhasil menjelmakan beberapa lembar tulisan puisi yang kami rasa cukup mewakili dengan apa yang diinginkan atmosfer perhelatan ini, yaitu menghapus stigma dari panitia yang yang selama ini dicap pemalas, mau gampangan, dan diteriakin lolagilolagi. Saya sendiri kurang hirau dengan hal-hal begituan apalagi menyangkut cuan yang lebih banyak aturannya daripada jumlahnya.

Jadi sampailah kami pada hari  malam penampilan yang ditunggu-tunggu penikmat sastra, baik serius atau dadakan, gedung sastra universitas dikelilingi orang-orang lesehan yang ingin mendengar petatah-petitih puisi yang perih ataupun gegahar. Lampu-lampu panggung melingkar lembut hanya satu lampu spot yang terang di tengah, sebagai pembentuk siluet penyair yang tampil berdiri.

Sehabis pembukaan oleh seorang profesor, yang pertama berkesempatan adalah penyair Laura, sebagai ladies first. Penulis Laura perlahan menapak panggung dengan langkah yang konfiden, parasnya bergaris-garis demikian serius. Selebihnya saya tak banyak menyimak, hanya momen pertama saja dia menyuarakan sanjaknya msih tertangkap oleh daun telinga saya, karena Laura terlalu lama di panggung, dia seperti tak berkehendak turun.

Laura terus berdiri di podium, membaca puisinya lembar demi lembar yang isinya sama, melulu tentang masalah-masalahnya dengan lelaki. Dia terlihat begitu menderita, benar benar kesakitan di ruang tubuhnya, sehingga dengan mendengar untaian puisinya, saya menjadi terhanyut, ikut merasakan apa yang dideritanya.

Setelah kurang lebih 1 1/2 jam, Laura mengakhiri penderitaannya. Dia menghentikan oratorinya dan berbalik melangkah menuruni panggung. Saya mengamati dengan rasa khawatir akan kondisinya, lalu bergegas menghampiri dan menuntunnya menuruni deck panggung. Dia mengambil tangan saya dan menjatuhkan tubuhnya yang dingin melekat ke dada saya.

Tenanglah Laura, kau akan baik-baik saja. Bisik saya di telinga. Dia hanya menatap mata saya.

Sehabis Laura turun panggung dengan energi kosong, lalu giliran 3 atau 4 penyair pelengkap itu yang menjejak mimbar, ada yang bermain diksi, ada yang becerita seperti alunan ombak dan ada yang menyuarakan alam semesta. Saya minta maaf kepada diri saya sendiri  untuk tidak begitu memperhatikan karena malam sudah terlalu pekat, saya haus dan saya perlu minum.

Saat giliran saya, saya pun menyingkat bacaan tulisan saya di panggung tentang derita lelaki yang diperlakukan oleh wanita, dengan niat, ini akan mempercepat kenyamanan saya segera kembali ke kamar motel saya untuk menenangkan udara dengan menyeruput bir dingin sambil menyiapkan konfirmasi flight saya esok pagi.

Setelah segalanya clear, saya hanya duduk melamun di sofa motel, menghidupkan sigaret dan meniupkan asap hisapnya. Memikirkan Laura, meskipun secara khusus kami mencetuskan puisi yang bertolak belakang satu sama lain, saya kok merasa halu berharap untuk dia datang dan berbincang atau memperbaiki hubungan menjadi lebih intim. Tetapi, itu hanya ketololan yang natural dari seorang lelaki, dan jangan tanyakan saya mengapa? Selanjutnya saya terbang dan berpisah dengan Laura.
***
Saya sekali lagi berjumpa dengan perempuan itu dalam hidup kepenyairan seterusnya, di sebuah kafe yang redup nan sahdu. Wajahnya masih terlihat cantik dengan hidungnya yang lancip dan rambutnya yang keperakan. Dia memakai gaun panjang dengan belahan rendah. Laura masih merokok bersinambung, dia terlihat duduk sendiri menatapi taplak meja.

Saya menghampirinya dan dia sedikit kejut tanpa menduga, tanpa sadar kami berdekapan seperti pernah kekasih lama di dalam dekade-dekade silam. Kami berbincang persis seperti kisah lama tentang pemanggungan puisi di universitas.

Dari situ saya tahu, bahwa Laura masih menulis tentang  bagaimana segala hal itu tetap menjadi salah akibat pria-pria. Sedang bagaimana dengan saya? Apakah saya juga akan berakhir dengan subyek yang tetap abadi?
Tapi saya menyimaknya, sesaat sebelum kami berpisah, Laura mengajarkan saya, bahwa jangan pergi kencan dengan seseorang di sekitar kita, hanya karena tidak ada sesuatu yang bisa kita kerjakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun