Malam Natal yang berkeringat di rumput Kallang. Putus asa, patah hati, kerendahan ejekan, harapan setipis jurang, permainan di batas mortal. Keajaiban! Barangkali bisa lebih bejibun kata hati yang bisa dikeluarkan untuk laga kombat Indonesia-Singapura kala itu.Â
Dan pemenang hanyalah satu, selebihnya hanya kekalahan, yang ampas gaungnya adalah seandainya-seandainya. Seandainya wasit, seandainya penalti, seandainya offside, seandainya kartu dan seandainya yang bertumpuk-tumpuk.
Pemain-pemain cakap Singapore menatap asa, Faris Ramli menangis deras di rumput sehingga melelehkan jersey birunya menjadi noktah true blue di green Kallang. Blues banget untuk pasukan Singapore, mereka menundukkan glowingnya dan berusaha mengumpulkan cahayanya, tetapi singa meraung.
Kallang Stadium yang segala riuh mulai merendah sunyi, sepi, setenang sungai Kallang di selatan. Para fans, The Lions Brigade, masih terbeku memegang merah putih bulan sabit 5 bintang. Mereka bangkit berdiri bernyanyi, mengambil tepuk tangan meskipun bukan Viking Thunder Claps.Â
Tapi ini sebagai penghormatan kepada kapten Harris Harun yang sedang menenangkan semenjana, sementara lapisan kaca di mata Ikhsan Fandi tak urung sirna. Mengapa kemegahan demikian dekat hanya beberapa mili dari kaki lelaki-lelaki teguh? Ketika bertarung bagai singa luka, hanya Garuda pemenangnya, dan Indonesia memiliki segala permainan dan kemewahan pemain-pemain.
Kini Kallang MRT station akan segera normal kembali, berbeda hampir 180 derajat, saat datang membawa harapan dan pulang menyisakan kenangan yang susah dienyahkan. Kereta-kereta program ini tetap saja tidak ambil pusing, mereka datang setiap 6 menit membukakan pintu penumpang. Mengambil jalur hijau east-west satu-satunya, untuk kemudian bersilangan di warna lain.Â
Jika menyilang di City Hall dan memungut warna merah north-south, segeralah menjelang Dhoby Ghaut. Berhenti disana bisa membuang lara renjana, berjalan ke barat dan menyerap jalanan Orchard yang benderang, atau mengambil lawan arah karena sudah menanti Bay Marina, buat melupakan nestapa. Banyak pilihan memang, namanya juga Singapura, yang menyimpan segala ada, tapi kini menyimpan kekalahan dan patah hati.
Anak-anak lelaki bola Indonesia masih berdiri disitu, mereka usai bernyanyi dengan penuh siraman air kemasan dan air mata di dalam ruang ganti. Kini mereka kembali berlatih ke Bukit Gombak memulihkan udara. Menikmati MRT merah north-south dari Somerset-Orchard taklah mengapa, melangkahi 20 pemberhentian ke ujung barat merambah kota kebun kanuragan ini.
Kami sudah mencapai final! Sebuah impian yang sebelumnya tak masuk di jalan akal, dan kembali akan bertarung melawan Thailand ke 6 kalinya di final. Mungkin ini momen Garuda untuk menduakan Muangthai, setelah melewati dramatikal yang mematikan. Lelaki-lelaki sepakbola Indonesia masih tetap menawan, mungkin kita bukan terbaik di Asean, tetapi kita memiliki pemain-pemain seniman. Cara bermain yang berbeda dari buku sepakbola atau kiblat Eropa.
Singapura boleh memainkan setpiece, Vietnam memainkan power, dan Thailand memainkan pengendalian, tapi kita bermain keindahan, tidak merusak lapangan untuk kemenangan, kita menggambar permainan di papan lapangan dari hati bukan teori. Apapun hasilnya nanti, kelak Indonesia akan dikenang dengan pemain-pemain penuh imaji seperti penari.
Tapi itu dilain sisi, kita pun mesti menginjak bumi menghadapi gajah putih.
Meski ada yang ganjil dalam permainan Thailand dari tangan seorang 'Mano' Polking pelatih berkebangsaan Brasil, tidak ditemukan sama sekali jendela Brasil di lapangan. Permainan negara Gajah Putih masih seperti silam, tegak lurus kepada luas lapangan, janganlah berharap samba. Barangkali nanti kapten Chanatip Songkrasin akan menandai di rumput hijau, bahwa Timnas Indonesia memang mempunyai ketahanan baru negri semenanjung, selain seni kulit bundar yang pernah dikenalnya selama ini.
Apakah Thailand akan memainkan football serupa ketika menghadapi Vietnam? Barangkali saja iya! Saat ini pelatih Alexandre Polking menerapkan zona marking yang ketat dengan mengorbankan serangan yang telah menjadi ciri khas Thailand. Double pivot yang dikendalikan oleh Phitiwat Sukjitthammakul di lini belakang dan Songkrasin di lini depan, ternyata bisa mendinginkan mesin Vietnam yang menyerbu seperti tak henti.
Memakai 4 bek adalah keseimbangan Thailand yang tidak tergoyahkan, sayang barangkali full-back senior Bunmathan tidak akan turun karena sudah memborong 2 kuning, pemain kaki kiri ini akan merenungi klub Yokohama Marinos tempatnya bernaung saat ini, dia akan duduk manis di bench.
Tapi di belakang, masih berdiri bek sentral yang besar Manuel Bihr berduet dengan Kritsada Kaman pemuda tembok yang juga memainkan intersep seperti flash.
Di barisan depan, penendang gaek Teerasil Dangda masih menjadi andalan, memiliki visi ruang pitch yang bagus dan cepat. Teera yang rendah hati ringan tangan dan lebih membumi sebagai deep-laying forward turut mengerjakan posesi bola bersama orang-orang bawah.
Dari celah 2 tombak perang Teerasil dan Pathompol, si kapten mungil Chanatip Songkrasin akan menyeruak sebagai false nine, Thai Messi ini akan menembak kuat dan akurat dari luar kotak seperti kemahirannya, atau dia akan memainkan dribble dan melewati sekaligus 3 lawan dengan 1v3, untuk memainkannya ke penyepak depan. Â Â
Bagaimana lalu Garuda akan terbang di atas Gajah Putih?
Apapun formasi 4-1-2-1-2 atau 4-1-3-2, permainan berlian lini tengah Thailand jelas menyiratkan keteguhan kepemilikan lapangan tengah, namun jarak flank dengan lini tengah mereka akan lebih terbuka, celah half-space inilah tempat menari Ricky Kambuaya atau hentakan Irianto untuk penetrasi atau meregangkan sentral bek sempurna mereka Bihr dan Kritsada. Selebihnya, dari sini biarkan Eggy, Witan dan Wailan akan menemukan jalan golnya yang menakjubkan.
Buat pemuda-pemuda Garuda di belakang, kiranya bukan kekuatan yang dibutuhkan seperti saat menembok pasukan engine monoton Vietnam, melainkan kecerdasan menandai gerak bayangan pemain tanpa bola Thailand. Biarkan Elkan dan Dewangga melaksanakan tugas ini, keduanya memiliki hal taktis sebagai centre back, tinggal Fachrudin yang rigid dibebaskan menjadi penyapu yang menakutkan.
Thailand tampak memang masih percaya diri dengan tradisi bolanya yang tidak beranjak, mereka berpikir itulah standard tinggi, tanpa paradigma baru dari Gajah Perang, mereka bermain biasa menang, seperti dekade silam.
Jadi, lepaskan saja orang-orang Thailand sendiri, untuk bisa mengetahui di pitch, bahwa pemuda kita tidak lagi mudah jatuh, tidak cengeng, dan saat jatuh serta merta bangkit untuk berlari lagi. Dan di ujungnya, kesenian bola kaki kita lebih bercahaya dari sinar lelaki-lelaki bola Thailand yang stagnan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H