Hari hujan, begitu tebal sehingga jatuhnya tampak lamban seperti salju. Aku berdiri di bingkai jendela, tentu saja mataku buram  bersikeras menguak tirai air yang liat. Kupikir ini Desember, kadang-kadang begitu konyol, aku kerap out of focus, hingga tanggal hari bahkan bulan menjadi tertinggal, musabab kesendirian yang panjang. Ya, tentu saja ini Desember. Dulu di saban tepi tahun, kami, maksudku aku dan perempuan itu berkenalan lagi, kami selalu terasing karena hanya bertemu minim, makanya seakan setiap Desember kami serasa berkenalan kembali.Â
Aku merenungi wajahmu yang hilang timbul, otak tuaku sudah susah mengait, jangankan parasmu, kalender saja aku tak pernah menggantinya. Itulah, saban Desember, setiap hujan yang kental, aku meraba-raba wajahmu. Aku pikir kamu cantik, ketika wajahmu memudar dan sesekali menyengat. Itu keindahan. Seperti air hujan yang tegak lurus membangun tirai yang rabun.
Tok, tok,tok!
Aku dikejutkan dengan suara kayu depan diketuk, bunyinya bercampur bunyi hujan. Lalu aku mengumpulkan kembali masa sekarang, dan keluar menambang lawang.Â
Perlahan ku menarik pintu muka. Tentu saja, angin bercampur bah menyergah. Tapi perempuan itu sudah berdiri di garis rangka pintu yang tebuka. Tubuh bermantelnya basah mengalir seperti atap. Dari balik hooddienya aku mentapap wajah putih sebagai bingkai yang ku kenal.
Aku sengaja mampir! Tiba-tiba perempuan itu melompat  masuk, kakinya mengebaskan, sehingga segala cairan langit yang dibawanya bertebaran kesana-kemari.
Aku setengah mati mengumpulkan sebaran otak di kepalaku. Ah! Maafkan! Sergahku.
Lenganku kemudian sigap menggapai mantel mencairnya, membantu menariknya keluar dari tubuh langsing lalu menggantungnya di papan.Â
Air di rambut peraknya terlihat menetes, aku berinisiatif mengambilkan handuk putih terbersih dan menyodorkannya. Dia meraih, lalu menggoyang-goyangkan rambut indahnya dan mengeringkannya yang terlihat seperti cemara salju. Sementara parasnya yang semula pucat beralih menyemu. Saat mereda aku mencoba membuka ruang bicara.
Bukankah kau wanita ini, yang sesekali? Aku separuh ngaco berucap, berharap pikiranku tidak trance.
Perempuan indah itu tidak menyahut, tangan lenturnya mengambil lenganku dan kami duduk di sofa terbaikku.
Hai! Aku masih saja mengenangmu! Tapi kamu selalu payah! Ucapnya, bibirnya bergerak terlalu pelan kupikir seperti iklan lipstik.
Maafkan! Tentu saja, aku mulai mengingatnya! Balasku bersantun.
No, no! Bukan itu! Aku sengaja singgah kemari. Sambungnya. Untuk mengatakan kepadamu bahwa semua ini telah selesai! Aku tak bergurau! This is it! Perempuan menawan itu menatapku, matanya seperti langit biru dan aku mendengarnya tapi lebih terbang ke awan.
Lalu lady itu bangkit di atas tungkainya yang indah, berbalik merambah cermin besar, lalu duduk menghadapi parasnya sendiri, di ruang tatapan ini.
Aku memandangi gerakannya semenjak dari sofa lembut. Memperhatikan kedua lengan kecilnya merapikan rambut bleachnya yang panjang memerah. Dia menarik lembut helaian rambutnya keatas, lebih meninggi, menahannya hingga dipuncaknya, lalu melepaskannya berderai di atas kepalanya bagai pantai.
Kemudian dia berputar mendepankanku, mata biru langitnya menatap kedua mataku, sehingga aku merasakan salju. Â Bibirnya senyum tanpa bicara di kulum, lalu wanita itu, lagi berpaling menguasai cermin. Â Kembali dia mengambil helaian rambut kemerahannya, membawanya meninggi, dan menghempaskannya kembali menghambur ke seluruh kulit wajah rupawannya.
Aku menghampiri kursi rotasinya dan mengambil pingggangnya tanpa bisa bicara, sehingga kami berdua begitu lekat, dan berjalan menuju kamar. Membiarkannya memandang tembok kamar tidur yang seperti telah mati, lalu mendudukkannya setelah jenuh tersirna.
Kau boleh lelap di sini! Aku membelai tilam yang seperti silam, sambil menuntunnya untuk membuang nuansa penatnya. Perempuan itu menurut saja dan meluruskan tubuhnya di atas bed berkacu putih, sementara gaun merahnya mengkontras dengan seprei itu seperti bunga. Lalu aku melepaskannya untuk dia mengambil lelap.
Aku keluar melanjutkan hujan di bingkai jendela ruang tamu yang bersikeras melajukan cairan awannya. Tapi ku pikir itu hanya sebentar, ketika perempuan itu keluar dari room. Tampak pulasnya sekilas lebih segar merona, rambutnya rapih lembut mengalun dan gaun merahnya mengalur jatuh ke tungkainya. Dia terlihat tanpa alas kaki.
Aku sudah berketetapan untuk kelar segalanya, sayang! Katanya lembut. Aku akan pamit dan kupikir ini akan berjalan baik! Sambungnya.
Akhirnya aku mengerti waktunya, sayang! Aku mendekatinya dan menyisi di tubuhnya buat membawanya ke pintu muka. Kami bejalan pelan menginjak lantai dingin karena temperatur musim, aku meraih mantel merahnya yang telah kering dan berpendar. Memakaikannya. Lalu dia memungut dan mengenakan kasutnya. Tumit dan kakinya memutih.
Pas sekejap sebelum meninggalkan, dia mengatakan.
Roger! Aku mau kau membelikanku sepatu bertumit tinggi berwarna hitam dengan duri-duri tipis di seputarnya. Dia berhenti sejenak memandang.
Tidak, tidak! Aku mau yang berwarna merah, Roger! Koreksinya. Aku mengangguk seperti mengenal lama permintaan ini.
Lalu kami melangkah dan membuka pintu kayu terdepan itu, terlihat hujan telah rehat bahkan sudah lemah menitik, beberapa garis matahari mendispersi embun bekas hujan bak bintik-bintik pelangi. Dia mulai berjalan dan aku membiarkannya menuruni jalan pedestrian bersemen di bawah pepohonan.
Aku masih menatapnya hingga memudar, wanita itu berjalan memanjang, gemulai dengan gaun merah dan rambut merah seperti bunga kastuba dengan merah basahnya yang mencair berkilau di pukul matahari.
Lalu aku menutup pintu, dan berniat sehabis sekian silam, aku akan kembali meneguhkan kepada dokter sejawat, bahwa aku sudah melupakan kecelakaan Desember dengan bunga berwarna merah darah itu. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H