Aku menghampiri kursi rotasinya dan mengambil pingggangnya tanpa bisa bicara, sehingga kami berdua begitu lekat, dan berjalan menuju kamar. Membiarkannya memandang tembok kamar tidur yang seperti telah mati, lalu mendudukkannya setelah jenuh tersirna.
Kau boleh lelap di sini! Aku membelai tilam yang seperti silam, sambil menuntunnya untuk membuang nuansa penatnya. Perempuan itu menurut saja dan meluruskan tubuhnya di atas bed berkacu putih, sementara gaun merahnya mengkontras dengan seprei itu seperti bunga. Lalu aku melepaskannya untuk dia mengambil lelap.
Aku keluar melanjutkan hujan di bingkai jendela ruang tamu yang bersikeras melajukan cairan awannya. Tapi ku pikir itu hanya sebentar, ketika perempuan itu keluar dari room. Tampak pulasnya sekilas lebih segar merona, rambutnya rapih lembut mengalun dan gaun merahnya mengalur jatuh ke tungkainya. Dia terlihat tanpa alas kaki.
Aku sudah berketetapan untuk kelar segalanya, sayang! Katanya lembut. Aku akan pamit dan kupikir ini akan berjalan baik! Sambungnya.
Akhirnya aku mengerti waktunya, sayang! Aku mendekatinya dan menyisi di tubuhnya buat membawanya ke pintu muka. Kami bejalan pelan menginjak lantai dingin karena temperatur musim, aku meraih mantel merahnya yang telah kering dan berpendar. Memakaikannya. Lalu dia memungut dan mengenakan kasutnya. Tumit dan kakinya memutih.
Pas sekejap sebelum meninggalkan, dia mengatakan.
Roger! Aku mau kau membelikanku sepatu bertumit tinggi berwarna hitam dengan duri-duri tipis di seputarnya. Dia berhenti sejenak memandang.
Tidak, tidak! Aku mau yang berwarna merah, Roger! Koreksinya. Aku mengangguk seperti mengenal lama permintaan ini.
Lalu kami melangkah dan membuka pintu kayu terdepan itu, terlihat hujan telah rehat bahkan sudah lemah menitik, beberapa garis matahari mendispersi embun bekas hujan bak bintik-bintik pelangi. Dia mulai berjalan dan aku membiarkannya menuruni jalan pedestrian bersemen di bawah pepohonan.
Aku masih menatapnya hingga memudar, wanita itu berjalan memanjang, gemulai dengan gaun merah dan rambut merah seperti bunga kastuba dengan merah basahnya yang mencair berkilau di pukul matahari.
Lalu aku menutup pintu, dan berniat sehabis sekian silam, aku akan kembali meneguhkan kepada dokter sejawat, bahwa aku sudah melupakan kecelakaan Desember dengan bunga berwarna merah darah itu. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H