Hari masih rendah, mentari pun masih setengah, jalanan kota sudah terlihat jengah. Rudi masih di balik kemudi SUVnya, tenggelam di kemandekakan lalu lintas yang tiarap. Dari panel dasbor mengalun suara Once feat Dewa19, Hadapi dengan Senyuman, Rudi ikut bersenandung, bibirnya komat-kamit mengikuti lirik yang ada di kepalanya. Hati lelaki ganteng ini tidak terburu-buru menjelang kantornya yang berlokasi mentereng di jantung kota, padahal jam sudah menjamur.
Rudi lebih menikmati perjalanan, entah sudah keberapa pekan ini, dia lebih banyak memarkir rasa hati sekehendaknya. Bosnya di kantor mulai bosan mengingatkannya, meski Rudi jenius tapi disiplin adalah yang utama setelah safety. Namun lelaki ini selow, dia seakan tidak melihat lagi stakeholder kompaninya.
Whatever! pikir Rudi.
Tapi Syanti? Ah! Perempuan terkasih itu?
Rudi tersedak merenungkan Syanti, pacarnya yang syantik. Bahwa, perempuan indah inilah yang masih saja membuat hatinya lumer di dalam kehidupan mapannya yang tengah mengalami pancaroba. Perempuan ayu yang mampu membuatnya melihat lagi ke depan seperti yang dulu pernah di anutnya tentang satu-satunya kemuliaan kehidupan adalah seperti yang di televisi.
Ah! Apakah aku mesti meletakkannya juga? Rudi menggumam dengan hati masjgul, kedua matanya hanya menatap kosong dari kaca depan bening vehiclenya . Kendaraan yang antre di muka menjadi seperti bayang-bayang. Lalu dia mengalihkan tatapan ke kaca penglihat belakang, berencana melakukan putaran balik.Â
Beruntung arus kontra begitu lapang, sampai tak sesuatupun menghalang. Bunyi ciutan roda besar suburbannya memekik, menarik perhatian pengendara lain dan orang sekitar, tapi Rudi mengabaikannya. Dia memacu mesin dengan throttle penuh. Wuuzz!
Aku mesti membereskannya dengan Syanti! Begitu degup kalbunya.
Sehingga tak memakan waktu lama Rudi telah merambah klaster rumah kekasihnya, berjalan merambat dengan melepas injakan gas dan membiarkan matiknya berjalan pelan sampai pas berhenti di muka satu rumah asri bercat putih.
Tampak sesosok rupawan menjelangnya di muka pintu, perempuan berpakaian blaser putih bersih berbahan blacu memberi senyum. Rudi melompat keluar mendekat, mengambil tangan gadisnya dan masuk ke dalam rumah.
Kau tak ke kantor lagi? Syanti membuka cakap, parasnya bergaris letih. Rudi menggeleng tanpa ucap.
Kau bermalam di emergensi?
Mmmm.. Syanti mengangguk, sembari menguap cantik, rambut lurusnya sedikit kusut.
Kau lelah? Banyak pasien?
Lumayan, banyak tindakan lanjut semalam. Syanti, dokter itu, bergumam, mata indahnya masih memandang pacarnya.
Lalu pembicaraan seperti tergantung di awan, kedua mahluk itu diam. Seperti persoalan melayang yang tak terpecahkan.
Aku sudah tak bisa menahan lagi, Syanti! Ku pikir aku resign! Akhirnya Rudi kembali membuka bicara, wajahnya seperti luka, perempuan itu menepinya lalu mendekap lelaki keren ini. Â
Mungkin kita perlu break sayang! Syanti berbisik di telinga Rudi, wajahnya semu.
Kau tetap tak berkeinginan bersamaku, Syanti? Rudi bernegosiasi, tapi perempuan elok itu menggeleng lemah lembut.
Biarkan aku tetap di kehidupanku, Rudi! Bukankah kita telah demikian sering membahasnya? Maafkan! Mata merempuan itu mulai merembes ke dalam dada lelaki Rudi. Lalu lovely couple itu berpisah. Mungkin berakhir.
***
Beberapa tahun sudah berlalu, dokter Syanti masih sendiri, dia telah merampungkan spesialisasi dan melanjutkan musim yang terputus cerita. Â Bermusim Syanti tak pernah berjumpa dengan Rudi, sang pria yang pergi.Â
Dia tak hendak tergenang kenangan, sementara bayangan lelaki Rudi telah menjadi mimpi tak bertepi. Perempuan itu sudah melewati hati patah yang tak pernah dikenalnya lagi, apalagi kesibukannya sebagai psikiatri keahlian jiwa terkini.
Ah! Seandainya dia bisa berbicara sekarang kepada Rudi, pastilah lebih berbobot ketimbang silam. Barangkali Rudi bisa ditahankan untuk kembali pulang ke dunia yang katanya bumi televisi.
Tapi jurang sudah teramat lama, sepeti lompatan kuantum yang tidak dimengerti. Syanti sesekali tepekur di sela konsultasi yang datang beraneka macam. Apakah akan mengubur Rudi yang tak bisa ditunggu? Perempuan itu tak tau. Dia hanya mengalihkan untuk berkonsentrasi mereparasi luka-luka jiwa pasien untuk bisa pulang kembali ke dalam batas pagarnya.
Berpuluh tahun kembali termakan waktu, dokter Syanti berkutat dengan jiwa-jiwa orang yang goncang hingga seketika waktu berlaku seakan singkat, Syanti ditempatkan di rumah sakit jiwa yang berat, kesibukannya bertambah, sekaligus mentalnya pun terdera kesepuhan.Â
Betapa melelahkan, membedakan dunia dan udara, sehingga sering perempuan ini mengambil ruang yang bening untuk membedakan kegilaan dan kenormalan.
Aku pikir aku harus liren! Paling tidak untuk memulihkan batin diriku sendiri! Begitu sampai pada keputusan dokter wanita ahli ini.
Hingga saat di hari kerja terakhirnya seorang lelaki baya yang dikirim sebagai pasien bermasalah jiwa. Di sore yang suram, di dalam ruang konsulnya yang lega, Syanti menatap tajam ke lelaki penderita.
Apa yang bapak rasakan? Katanya membuka.
Ah! Dokter! Saya telah lama merasakan bagian diri saya seperti mayat yang belum dikenali oleh siapapun sebagai mayat. Ah! Apakah begitu? Maksud saya..mungkin.. Ah! Lelaki itu tak meneruskan.
Apakah bapak hidup seperti umumnya?
Eh! Saya sudah lama keluar dari situ, dokter! Maksud saya..Jawab pria terputus.
Dari televisi? Ruang keluarga? Mobil? Liburan? Tiba-tiba Syanti memburu pertanyaan gencar yang bagai mengendap lama. Ada sesuatu yang pernah dikenalnya atau paling tidak sesuatu yang pernah hilang.
Semuanya dokter! Kehidupan normal itu telah lama tampak menjijikkan bagi saya. Sudah berpuluh tahun lalu saya membuangnya dokter. Kuliah, rumah, pekerjaan normal jam 9-5. Pria setengah abad itu menjawab kalem.
Kenapa? Tiba-tiba Syanti memotong, menjadikan lelaki itu tertegun. Lalu pria itu tampak menarik udara panjang sesuka hatinya ke dalam dadanya yang membusung.
Ada rasa pembusukan disana yang tak dapat saya hindarkan. Dokter tau, itu seperti hanya hidup di dalam gelembung yang diproyeksikan hampir seperti televisi. Lelaki itu berhenti, dia menatap dokter Syanti yang melongo.
Boleh saya lanjut dokter?
Ah! Go ahead! Perintah Syanti tergagap.
Saya sekarang melihat kehidupan adalah sebuah gambar dan kehidupan nyata ada di suatu tempat yang mengintai di belakangnya, dengan mobil-mobil yang diparkir dan halaman rumput yang hijau dan rumah-rumah kecil dengan pintu-pintu kecil. Semuanya. Maaf, apakah dokter paham?
Mmmm.. dalam istilah kami bapak mengalami disorientasi.. tapi baiklah, apa lagi yang mau bapak sampaikan?
Tidak! Tidak dokter. Dokter tidak memahaminya! Saya telah keluar dari kehidupan yang dikurung ini, seperti meletakkan anjing di belakang pagar atau seorang pria diam di balik jeruji jendela, yang bertanya-tanya, apalagi yang ada diluar jangkauan jendela itu. Dan saya tidak akan seperti itu, saya sudah separuh jalan dokter. Dan dokter tau, saya memerlukan pendamping saya, untuk menjalaninya bersama saya. Â Tapi sepertinya saya tak pernah berhasil.
Pria pasien sejenak menatap mata Syanti, lalu dia bangkit dan beranjak pergi meninggalkan ruang, dokter Syanti berusaha menahannya, tapi lelaki itu mengabaikannya dan terus berlalu, menyisakan dokter Syanti yang memandang pria itu menjauh sampai menjadi bayang-bayang yang pernah sekali seorang lelaki pergi.
***
Hari pun menurunkan gelap lewat gradasi senja, dari abu-abu ke warna yang lebih pekat. Syanti mengeluarkan mobil dari parkirnya dan meninggalkan rumah sakit jiwa. Dia merasakan lelah yang mendera, terlebih memori kebenarannya, yang mulai dirasakan kehilangan keseimbangan fiktif dan fiksinya.Â
Segala terasa bercampur baur. Dia berpikir hanya memerlukan istirahat panjang dari pengolahan jiwa sejauh ini. Â Sementara Syanti syantik mengendarai sedan putihnya yang berkilat memecah cahaya merkuri di jalan yang sepi, dari dasbor mengalun lagu yang pernah, dari Once feat Dewa19, Pupus.
Dia melayangkan pandang ke deretan rumah-rumah di tepi jalan yang sudah tertidur, menutup cahaya lampu ruang mereka sehingga  menyemburkan sinar meremang yang memanjang.
Dan Syanti masih bisa memperhatikan tepian jalan, dimana selang beberapa rumah terlihat seekor anjing yang berdiri di belakang pagarnya dan seorang pria yang diam di jendelanya.
Syanti tetap meneruskan gelinding roda mobilnya, bola matanya dirasakan hangat dan basah, dia pun paham bahwa Rudi tidak lagi ada di posisi  seperti para pria jendela di rumah-rumah tepi jalan itu. Dokter perempuan baya itu mulai mengenal siapa pasien terakhirnya tadi.  Dia tau, silam dan sekarang, tak bisa juga menggoyahkan kehidupannya ketika pasien pria terakhir tadi membujuknya untuk terakhir kali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H