Saya selalu bergembira, melihat mereka bekerja dengan linear, tanpa rumus-rumus seperti insinyur, sederhana, terampil dan jelas ke sasaran. Â Mereka berlari bolak-balik dengan tempat sampah mereka untuk memindahkan sampah itu pergi ke suatu tempat. Saya sendiri selalu berharap bisa ikut dalam kesibukan mereka, hanyut ke dalam tangan-tangan mereka yang cekatan.Â
Melemparkan gulungan sampah ke udara lalu mendarat di badan truk mereka yang berjalan perlahan. Dan mereka selalu tertawa seakan ini permainan hari yang gelap menuju terang, di sinar kota yang segera mulai memerah dari mentari yang tak tahan bersembunyi. Mereka berteriak satu sama lain dengan pola yang sama ketika sampah-sampah itu memenuhi truk mereka.
Lalu truk mengemudi ke arah barat melawan matahari untuk menutup hari yang terlalu dini yang telah mereka mulai. Sampah-sampah ini harus segera di olah sebelum sampah sampah lain datang saling susul menyusul. Sehingga begitu matahari tenggelam, sejarah bau dan remah, tidak tertinggal dalam bekasnya.Â
Hanya sampah-sampah baru yang memulai dan mengulang ceritanya kembali. memenuhi tong-tong sampah, di sepanjang pedestrian, di depan mall, di depan bengkel dan tentu saja di depan kafe dan bar tempat pemuda-pemuda pengangkut sampah itu bercengekrama.Â
Mereka akan mendarat di markasnya yaitu sebauh bar yang sama setiap malamnya. Melepaskan segala dahaga dan beban sampah yang membebaninya, bernyanyi dan mereguk minuman berbuih dan berbau ragi.Mereka wajib melupakan pekerjaannya jika sudah demikian, bahkan sampah-sampah di depan tempat minum-minum mereka.Â
Dan saya selalu saja merasa sedih ketika berada di saat-saat seperti ini. Mereka telah membuang sampah untuk hari ini dan minum untuk lelahnya. Tidak seorangpun dari mereka yang tahu bahwa saya masih hidup dan berada  di depan tempat mereka minum-minum dan bersenang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H