Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kembali Normal

11 November 2021   23:14 Diperbarui: 11 November 2021   23:41 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber dari pixabay.com

Malam kini begitu sepi, sampai sepi terdengar ke dalam gendang telinga. Membuat saya yang waktu itu mau pulang terikat pasrah. Saya hanya tergolek di ranjang yang sama sejak 56 tahun yang lalu, yaitu seumur pensiun saya. 

Malam ini menandakan saya akan mati. Tubuh saya basah oleh keringat yang tak berhenti membasahi kain piyama saya, dan saya pikir sampai menembus ke permukaan kasur saya. Saya masih berdegup dan saya merasakannya lemah, tetapi saya masih mendengar suara jengkrik yang mengusir suara sunyi. 

Kucing betina hitam yang biasa merajuk masuk kekamar saya terdengar suaranya melengking menolak gigtan lelakinya si garong.

Beberapa waktu kemudian kembali suara udara malam yang menyeruak lewat kisi-kisi jendela. Saya menghitung detak dada saya tapi tak berlanjut karena begitu terlambat. Tidak datang ingatan ke dalam kepala saya karena memori seperti pergi, hanya otot saya yang berdenyut. 

Nafas saya mulai berjalan pelan sehingga mudah mengingatnya, satu persatu. Hanya feeling rasa saja yang masih tertinggal, barangkali tigapuluh persen atau dua puluh? Tapi itu terus menanjak mungkin melewati seratus persen, sehingga saya merasakan ruh saya berguling dan mulai jatuh ke bawah dari atas kasur. 

Saya merasakan perjalanan ini dan mencoba untuk tetap tenang, sehingga sebelum nyawa itu membentur lantai, saya mengumpulkan segala tenaga yang tersisa. Persis ketika dia nyaris membentur ubin, saya berhasil melompat sehingga saya terhindar dari kejatuhan dan tetap berada diatas ranjang.  

Lalu saya tengadah mengambil udara untuk nafas saya yang hampir ikut tertarik udara. Saya pun bernafas, satu, dua, tuk, wak, tuk, wak, dan mengambil sedikit kesadaran saya, paling tidak untuk melihat dunia sebesar kamar saya ini, tapi saya pikir saya tidak berhasil. 

Saya mencari cara lain, dengan mengumpulkan kekuatan lewat urat-urat kecil saya yang masih mengalirkan darah untuk mencoba bangkit meski saya teramat lunglai. Hanya satu-satunya yang ada di dalam benak saya, bahwa saya ingin menyalakan lampu kamar. Saya pikir saya harus mendapatkan cahaya untuk melihat lebih terang. 

Dan saya berhasil berdiri  lalu menyeret kaki saya menuju saklar lampu. Seperti berjalan di atas seutas tali tambang dalam waktu yang panjang, akhirnya saya berhasil memencet switch nya di dinding dan lampu kamar pun menyala. Sebersit saya merasa lega bisa melihat di dalam sinar, sebagai sinar kehidupan. 

Tetapi tenaga saya yang tinggal satu ons, sangat cepat menyusut, apakah saya bisa menggapai ranjang saya kembali? Saya tidak yakin dan saya pun masuk ke dalam fase pasrah yang lebih akut. Saat separuh jalan menuju bed, saya sudah tidak terkendali. Kembali ruh itu memberat dan untuk kedua kalinya kembali jatuh menuju lantai. 

Saya hanya memiliki sepersekian detik untuk mencoba kembali atau tidak sama sekali, saya pun memusatkan pembuluh darah di telapak kaki, yang kata ahli totok darah merupakan area seluruh saraf sumber penyakit. Dan saya berhasil melakukannya, dengan tiba-tiba saya telapak saya menjadi ringan membuat saya memiliki kemampuan untuk menggapai brankar saya. 

Saya melihat sebelum jiwa saya jatuh menyentuh lantai, saya berhasil melompat dan mencapai tilam kembali, berguling pelan dengan nafas yang nyaris terhenti. Mata saya masih terpejam akibat perubahan dari gelap menuju terang, tapi saya pikir ada sedikit senyum di bibir saya bahwa semua lampu kamar saya kini menyala membuat kamar benderang. 

Paling tidak saya tidak lagi menemukan hal yang menakutkan, karena dari cahaya ini saya terbantu untuk melupakan kematian yang sedang bertamu ini. Dari terang ini, saya lebih mudah mengingat hal yang penting, seperti tentang anak perempuan saya yang masih remaja. 

Turun ke hati saya, saya merasakan kebahagian sekaligus kepedihan, bahwa anak terkasih ini tentu tidak mau saya mati dan berharap itu tidak terjadi, atau hanya ilusi. Tapi dia begitu jauh dan sudah aman berada di sekeliling orang-orang  yang mengasihinya, ibunya dan mertua saya dan kakek neneknya, ketimbang saya yang mengambil jalan kesendirian di dunia kata yang sibuk dan penuh pertaruhan.

Masih bergumul di tepi ranjang dan lantai, kembali saya dilibatkan lagi dengan suara malam, suara diam yang menyentuh ketidak sadaran saya. Saya harus mengiring malam di antara pilihan, apakah untuk seluruh malam. Ah! Menjalani satu malam terakhir? Dengan tubuh saya sendiri, bersama satu ranjang dan satu kamar?

Tidak seorangpun menelpon, tak ada seorangpun yang datang membawa minuman penyegar. Tidak ada lagi perempuan yang kerap menelpon. Begitu hitam dalam kesepian, hanya kembali suara jengkrik membawa malam yang sumuk. 

Saya menatap langit-langit tanpa berkedip, dan besiap untuk bergumul jam mati, hidup- mati, seperti saya bermain dengan jatuh dan bangun. Begitu berulang-ulang,  seperti ketika saya berguling dari tepi yang tidak tergravitasi, jiwa saya berguling jatuh dari kasur menuju lantai, sayapun sesigap melompat kembali ke atas kasur, demikian seterusnya saya menghindari mati. 

Sehingga akhirnya malam mulai meredakan batas waktunya, ketika matahari pertama tiba melewati celah jendela kamar saya, setelah berpendar dari semak-semak dihalaman.
Dan saya ternyata masih tetap berada di atas tempat tidur saya, sementara ruh saya tetap tinggal, seingat saya tak lama sejak saya jatuh tertidur.

Dan sekarang saya melihat orang-orang berdatangan membuka paksa pintu kamar saya dan bahkan mematahkan jendela kamar saya. Saya juga mendengar telepon rumah berdering, juga suara-suara dering hanfon yang bervarian, menerus, berganti tanpa henti, lagi dan lagi.

Saya melihat monitor komputer saya, saya banyak mendapat ucapan ke alamat email saya. Hanfon sayapun di penuhi pesan whatsapp yang seperti tak berhenti mengedip.

Saya tersenyum, saya sukak, kini segalanya kembali sama lagi. Semuanya telah kembali normal!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun