Kau tau? Lalat adalah bagian kehidupan yang marah! Kataku nyinyir. Apakah kau menginginkan kehidupan yang lebih? Hehehehh... kembali aku terkekeh. Lalat, lalat! Jika kau marah karena engkau seekor lalat itu bukanlah salahku! Hehehehh..
Mereka terlihat memutar kelopak mata beloknya lebih kencang, mungkin otak kecilnya sedang berpikir atau mungkin mereka bertambah marah, membuatku semakin senang. Kedua kakinya yang semula mengais ngais kumisnya mulai meregang seperti bersiap terbang. Dan benar kedua lalat itu naik cepat dan menerjang kembali jidatku. Namun aku sudah bersiap dengan koran yang diam-diam sudah ke gulung sebagai pemukul.
Wush! Wushh..! Lalat-lalat itu tak berhasil mendaratkan dahiku, sementara ayunan koranku pun luput. Membuat mereka naik membubung dan hinggap kembali di langit-langit. Aku mendongak dan berdiri mengayunkan gada koran itu ke arah mereka namun tak sampai.Â
Tampak mereka bergeming, dari bawah ku menatap sebal dan ikut marah. Sebaliknya, mereka terlihat mengejek ku yang terbawa emosi yang dianggapnya sama seperti penderitaan mereka. Mereka ingin mengatakan bahwa mereka bukanlah bongkahan jiwa yang hanya terserak atau tertinggal entah dari mana. Aku masih menatapnya, seperti merasakan bahwa jika aku terpancing, aku tak lebih seperti mereka yaitu juga seekor lalat.
Aku pun menurunkan emosi dan kembali duduk dikursiku, membuka lagi gulungan koran dan mulai membaca. Ini sengaja ku tunjukkan kepada mereka bahwa aku memiliki kemuliaan humanisme. Tak lama ku merentang koran, mereka kembali melemparkan diri mereka setengah lingkaran di sisi permukaan koran.Â
Hmmm.. rupanya dua lalat itu tidak mengijinkan ku membaca koran. Si lalat besar bahkan berani menyerang kepalaku dengan lengking yang menyedihkan, lalu menggoda tanganku dengan bermain perosotan, naik dan turun. Aku melihat saja tingkahnya merangkak --rangkak di lenganku, aku kok merasa Tuhan menempatkan hal-hal yang hilang  padaku dengan serangga ini. Lelaki lain menderita dari perintah bosnya, atau mengalami cinta yang tragis. Sedang aku menderita serangga.
Tanpa suara aku mengambil lembar buku terdekat tanganku yang lain, dan Plak! Kena! Lalat besar itu berguling jatuh dari lenganku ke atas meja. Dia mengerang, menendang-nendang punggungnya, menjentikkan kakinya seperti penagih hutang yang marah, dan aku turun lagi dengan tongkat kertasku dan segera saja dia telah menjadi noda keburukan yang menyedihkan.
Kini hanya tersisa si lalat kecil yang tampaknya hanya menghidupkan kembali dorongannya untuk menantang. Dia berputar lebih cepat dan lebih dekat dan membuat suara yang lebih tipis tapi mengerikan. Matanya yang lebih besar dari tubuhnya seperti bertumbuh ingin melampiaskan dendam kematian pasangannya. Aku kembali hanyut ke dalam permainan si emprit ini, bukan main.
Hei! Mahluk kecil! Engkau tidak akan bisa mengambil kekudusanku lagi! Kau mengertI? Aku menggertak dan mengancamnya ketika tensiku kembali memuncak. Aku mengayunkan tongkat koran berputar-putar ke segala arah membuat si kecil berputar tinggi sehingga tak terlihat. Rupanya kembali lalat halus ini melekat diatas plafon yang tak terjangkau. Dia terdiam dan kelihatan lebih tenang, seperti tak hendak mendekati tubuhku lagi.
Sementara matanya memandang ke kertas koranku yang sudah rusak, seperti memberitahukan bahwa sesuatu telah terjadi, sesuatu yang telah mengotori hari-hari anda. Dia merangkak lebih ke sudut langit-langit, matanya tidak sebesar tadi, dan wajah mungilnya terlihat lebih jinak. Aku membuang sobekan-sobekan koran habis pertempuran, sambil menonton serangga kecil  di pojok atas seperti membeku.
Selanjutnya tidak ada lagi yang hendak ku baca karena aku kehilangan selera. Aku seperti tidak membutuhkan teman pria atau wanita sekalipun, aku hanya membutuhkan sesuatu yang hidup, yang bisa dijalin bersama. Lalat besar telah mati di tanganku, tersisa lalat kecil yang menjauh di atas.